Cari Entri lain

Kamis, 09 Januari 2014

SANGHYANG SIRAH


 SANGHYANG SIRAH
                                                            Hasnan Singodimayan
 
Mitos Sanghyang Sirah yang bersumber dari jangka Jaya Baya, telah dipersempit penggambarannya hanya berkisar di "Ujung Kulon" pulau Jawa di ranah Banten. Tetapi kenyataan sebenarnya, setelah ilmu pengetahuan menemukan gambar peta dengan skala yang benar maka, mitos Sanghyang Sirah berada di "Puju Wetan" pulau Jawa. di ranah Blambangan.
Era Jaya Baya di kerajaan Dhaha, ilmu pengetahuan belum mengenal gambar peta. Bagaimana sebenarnya bentuk pulau Jawa ketika itu. tak seorangpun yang mampu membayangkan. tetapi intuisi Jaya Baya sudah mendahului Jamannya dengan peta "Sanghyang Sirah" dalam skala religi yang matematik.
Bahwa gambar pulau Jawa yang diketemukan ilmu pengetahuan, seperti orang yangmelakukan "SESEMBAHAN" dalam posisi berdiri. Jika "Puju Wetan" berada diatas. Ranah Blambangan seperti kepalanya dan otaknya. Probolinggo, Malang, dan Lumajang, berbentuk seperti lehernya. Pulau Madura merupakan dekapan dua tangan yang melakukan sesembahan. Surabaya dan sekitarnya merupakan dadanya. Berjantung ada di Kediri Dhaha.
Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, tergambar seperti perutnya yang langsing. Jawa Barat bagian dari gambar pinggulnya. Karisedenan Banten, gambar betis dan kakinya. Sedang lututnya terletak di Daerah Khusus Ibukota jakarta. Dalam pameo Jawa sering disebutnya "bondo dengkul".
Pulau Bali dan Lombok yang terletak diatas “Sirah Jawa”, merupakan bentuk harapan dan angan-angan, seorang abdi atau para penyembah, untuk memperoleh Nirwana atau Jannatun Na’im. Semenanjung Blambangan bagiab dari Taman Nasional Alas Purwo, merupakan Mahkotanya “Sirah Jawa”. Dijadikan sebagai wilayah mistik, untuk memperoleh intuisi kadar tertinggi guna mendapat kekuatan spiritual. Sejumlah tokoh tokoh nasional pernah kesana. Terutama diera tahun *2014* sekarang ini, mahkota Blambangan sarat dikunjungi tokoh tokoh politik dan caleg.
Pemutar balikan mitos “Sanghyang Sirah” dari Blambangan ke Ujung Kulon Banten, mula pertama dilakukan Kesultanan Mataram, untuk menyudutkan Ranah Blambangan sebagai rival dan memperoleh dukungan Kompeni yang pernah dihancurkan Kerajaan Blambangan dalam perang “Puputan Bayu”. Dan berlanjut oleh Penguasa Hindia Belanda, agar kekuatan Blambangan yang masih dukung-mendukung dengan Kerajaan Bali, bisa terputus oleh mitos itu. Bahwa “Sanghyang Sirah” berada di Ujung Kulon pulau Jawa pada kuasa Kesultanan Banten.
Dikarangnya brbagai macam cerita mitos pada sejumlah batu karang yang mencuat seperti kepala orang disekitar Ujung Kulon. Mitos lain yng dikarangnya adalah pertemuan Sunan Kalijaga dan Nabi Khaidir atau “Batu Qur’an” yang berada di kolam Cibulukan Pandegelang dan mandi bersama dikolamnya. Tetapi mitos alami yang tidak dikarang, jangan dianggap sebagai “Gugon-Tuhan”
Mitos itu asih merupakan bagian dari kepercayaan manusia yang diangkat oleh Tuhan, sebagai Khalifah di muka bumi dengan perintahnya “Bacalah atas nama Tuhanmu yang telah mencipta alam dari sejumlah partikel KUN FAYAKUN” (Hingga Bosson). Partikel Tuhan yang baru diketemukan itu, merupakan pintu gerbang SAINS untuk meneliti keberadaan alam gaib untuk mengurai misteri Kehidupan alam yang sarat dengan mitos dan mistik.
Sejarah perkembangan Jawa, sejak jaman purna sampai jaman modern saat ini, selalu menjadi kejian para pakar dari berbagai bidang. Sebab Jawa tidak pernah terlepas dengan perkembangan agama agama besar di dunia danselalu ditumpang oleh perkembangan budayanya yang bernilai sangat agung dan relig.
Sisa sisa prassejarah dengan diketemukannya tulang belulang Homozon di Sangiran serta perkembangannya lebih lanjut sekian satus ribu tahun kemudian berdiri wangsa Syailendra dan wangsa Sanjaya dengan sejumlah candi yang bernilai sangat tinggi. Borobudur  dan Prambanan, Penataran dan Trowulan, telah meninggalkan suatu jejak religi. Bahwa Jawa, merupakan pusat kebudayaan dunia, sejajar dengan Babilonia dan Mesopotamia.
Sejarahnya bersifa sangat religi, mengikuti “Sunnatullah dan Sunnaturasul” (hukum evolusi dan Hukum Revolusi). Agam Budha yang berpusat di Sriwijaya, pengembangannya ada di Jawa. Berkembangnya agama Hindu di Jawa berjalan sangat indah, menyatu dengan agama Budha menjadi Dhaha. Hindu Budha.
Jejak armada jawa ke Asia Timur dan Asia Barat, di ikuti oleh perkembangan agama islam ke pulau jawa, dari daratan Cina dan dari semenanjung Gujarat. Perkembanganya begitu cepat mengikuti Sunnaturrasul. Hanya dalam waktu yang sangat singkat. Feodalisme Jawa digusur oleh Berjuasi pedagang pedagang muslim yang berdatangan di pesisir Jawa sebelah utara, Pantura.
            Oleh para wali perkembangan itu dinilai sebagai suatu “Keharusan Sejarah” dan oleh sebagaian cendikiawan Hindu yang berkonsentrasi di Bali dan Blambangan, dinilai sebagai suatu “Kenyataan Searah”. Keharusan sejarah dan Kenyataan sejarah merupakan kehendak Tuhan dan bukan suatu kebetulan, jika pulau Bali, merupakan kenyataan sejarah sebagai “Atsyarul Qodimah”. Sejarah masa lampau yang masih bisa dilihat dan disrasa oleh mata dan dada, sebagai gambaran Nirwana yang berada diatas “Sirah Jawa”.
            Maka benarlah kemudian, jika pulau Bali disebut sebagai pulau Dewata, pulau Seribu Pura dan pulau bersemayamnya Sanghyang Widari sebagai penari. Pulau yang masih “dilestarikan” Tuhan, beragam indu. Maka perkembangan Agama agama yang ada di Nusantara, tidak sempat berbalik menjelajahi Jawa, menisi kenistaan yang terus bergelembung menjadi “Jahiliyah”, tanpa ada “Sanghyang Sirah” yang mau berpikir dan berdzikir tentang semua itu dengan menggunakan cara “Sunnaturasul” yang pernah dilakukan “kemarin” oleh orang tua kita ditahun 1945, revolusi atau menjungkirbalikkan keadaan.
Para agamawan Cuma mampu mendongeng, memperbodoh dan membohongi diri sendiri dan bersikap apologik dengan masa lalu yang telah ditelan oleh sejarah (semoga sejarah Andaluisia, tidak berulang di Indonesia) A’udzu billah min dzalik.
Sebenarnya proses sejarah pulau Jawa, telah terhimpun secara rapi dilaci “JAVANOLOGI”, suatu lembaga yang respentatip mengangkat dan mendalami sejarah dan budaya Jawa yang sebenarnya Jawa, yaitu Sunda, Madura, Bali dan Lombok, termasuk itos mitsnya dan mitos “Sirah Jawa”. Tetapi mata picik dan juling, yang sering mengerling ketidakpengertiannya, telah mengartikan Javanologi itu menjadi Javanisasi dan Java Centris ang menilai jawa itu, Cuma Jawa tengah sekitas Kesultanan. Bukan jawa yang sebenarnya Jawa dalam posisi berdiri, melakukan sesembahan sebagai “Sanghyang Sirah”.
            Sebab bentuk sebua benua atau pulau, bukan Cuma karena proses alam, ketika terjadinya ledakan raksasa yang menimbulkan limpahan air samudra Nabi Nuh, sehingga Pangea berserakan menjadi lima benua atau aketika benua atlantik tenggelam diantara dua smadura dan mensisakan sejumlah kepulauan yang kemudian disebut Nusantara dan oleh Jepang disebut Asia Timur Raya (Negara jepang sendiri, tergambar seperti buaya).
            Sesungguhnya proses itu, bukan terjadi dengan sendirinya, tetapi atas kehendak Tuhan dengan segala kasih sayangnya (Arrahman dan Arrahim), sehingga membuat pulau Jawa menjadi pusat kebudayaan dengan segala mitos mitosnya yang masih disisakan antara lain berupa mitos “Nyai Loro Kidul” yang berada di Samudra yang penuh dengan misteri dan mitos “Sanghyang Sirah” yang meliputi arti Nusantara dimasa yang akan datang.
HASNAN SINGODIMAYAN
Pengarang “Suluk Mu’tazilah”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar