SANGHYANG SIRAH
Hasnan
Singodimayan
Mitos Sanghyang Sirah yang
bersumber dari jangka Jaya Baya, telah dipersempit penggambarannya hanya
berkisar di "Ujung Kulon" pulau Jawa di ranah Banten. Tetapi
kenyataan sebenarnya, setelah ilmu pengetahuan menemukan gambar peta dengan
skala yang benar maka, mitos Sanghyang Sirah berada di "Puju Wetan"
pulau Jawa. di ranah Blambangan.
Era Jaya Baya di kerajaan
Dhaha, ilmu pengetahuan belum mengenal gambar peta. Bagaimana sebenarnya bentuk
pulau Jawa ketika itu. tak seorangpun yang mampu membayangkan. tetapi intuisi
Jaya Baya sudah mendahului Jamannya dengan peta "Sanghyang Sirah"
dalam skala religi yang matematik.
Bahwa gambar pulau Jawa yang
diketemukan ilmu pengetahuan, seperti orang yangmelakukan
"SESEMBAHAN" dalam posisi berdiri. Jika "Puju Wetan" berada
diatas. Ranah Blambangan seperti kepalanya dan otaknya. Probolinggo, Malang,
dan Lumajang, berbentuk seperti lehernya. Pulau Madura merupakan dekapan dua
tangan yang melakukan sesembahan. Surabaya dan sekitarnya merupakan dadanya.
Berjantung ada di Kediri Dhaha.
Jawa Tengah dan Daerah
Istimewa Yogyakarta, tergambar seperti perutnya yang langsing. Jawa Barat
bagian dari gambar pinggulnya. Karisedenan Banten, gambar betis dan kakinya.
Sedang lututnya terletak di Daerah Khusus Ibukota jakarta. Dalam pameo Jawa
sering disebutnya "bondo dengkul".
Pulau Bali dan Lombok yang
terletak diatas “Sirah Jawa”, merupakan bentuk harapan dan angan-angan, seorang
abdi atau para penyembah, untuk memperoleh Nirwana atau Jannatun Na’im. Semenanjung
Blambangan bagiab dari Taman Nasional Alas Purwo, merupakan Mahkotanya “Sirah
Jawa”. Dijadikan sebagai wilayah mistik, untuk memperoleh intuisi kadar
tertinggi guna mendapat kekuatan spiritual. Sejumlah tokoh tokoh nasional
pernah kesana. Terutama diera tahun *2014* sekarang ini, mahkota Blambangan
sarat dikunjungi tokoh tokoh politik dan caleg.
Pemutar balikan mitos “Sanghyang
Sirah” dari Blambangan ke Ujung Kulon Banten, mula pertama dilakukan Kesultanan
Mataram, untuk menyudutkan Ranah Blambangan sebagai rival dan memperoleh
dukungan Kompeni yang pernah dihancurkan Kerajaan Blambangan dalam perang “Puputan
Bayu”. Dan berlanjut oleh Penguasa Hindia Belanda, agar kekuatan Blambangan
yang masih dukung-mendukung dengan Kerajaan Bali, bisa terputus oleh mitos itu.
Bahwa “Sanghyang Sirah” berada di Ujung Kulon pulau Jawa pada kuasa Kesultanan
Banten.
Dikarangnya brbagai macam
cerita mitos pada sejumlah batu karang yang mencuat seperti kepala orang
disekitar Ujung Kulon. Mitos lain yng dikarangnya adalah pertemuan Sunan
Kalijaga dan Nabi Khaidir atau “Batu Qur’an” yang berada di kolam Cibulukan
Pandegelang dan mandi bersama dikolamnya. Tetapi mitos alami yang tidak
dikarang, jangan dianggap sebagai “Gugon-Tuhan”
Mitos itu asih merupakan
bagian dari kepercayaan manusia yang diangkat oleh Tuhan, sebagai Khalifah di
muka bumi dengan perintahnya “Bacalah atas nama Tuhanmu yang telah mencipta
alam dari sejumlah partikel KUN FAYAKUN” (Hingga Bosson). Partikel Tuhan yang
baru diketemukan itu, merupakan pintu gerbang SAINS untuk meneliti keberadaan
alam gaib untuk mengurai misteri Kehidupan alam yang sarat dengan mitos dan
mistik.
Sejarah perkembangan Jawa,
sejak jaman purna sampai jaman modern saat ini, selalu menjadi kejian para
pakar dari berbagai bidang. Sebab Jawa tidak pernah terlepas dengan perkembangan
agama agama besar di dunia danselalu ditumpang oleh perkembangan budayanya yang
bernilai sangat agung dan relig.
Sisa sisa prassejarah dengan
diketemukannya tulang belulang Homozon di Sangiran serta perkembangannya lebih
lanjut sekian satus ribu tahun kemudian berdiri wangsa Syailendra dan wangsa
Sanjaya dengan sejumlah candi yang bernilai sangat tinggi. Borobudur dan Prambanan, Penataran dan Trowulan, telah
meninggalkan suatu jejak religi. Bahwa Jawa, merupakan pusat kebudayaan dunia,
sejajar dengan Babilonia dan Mesopotamia.
Sejarahnya bersifa sangat
religi, mengikuti “Sunnatullah dan Sunnaturasul” (hukum evolusi dan Hukum
Revolusi). Agam Budha yang berpusat di Sriwijaya, pengembangannya ada di Jawa. Berkembangnya
agama Hindu di Jawa berjalan sangat indah, menyatu dengan agama Budha menjadi
Dhaha. Hindu Budha.
Jejak armada jawa ke Asia
Timur dan Asia Barat, di ikuti oleh perkembangan agama islam ke pulau jawa,
dari daratan Cina dan dari semenanjung Gujarat. Perkembanganya begitu cepat
mengikuti Sunnaturrasul. Hanya dalam waktu yang sangat singkat. Feodalisme Jawa
digusur oleh Berjuasi pedagang pedagang muslim yang berdatangan di pesisir Jawa
sebelah utara, Pantura.
Oleh
para wali perkembangan itu dinilai sebagai suatu “Keharusan Sejarah” dan oleh
sebagaian cendikiawan Hindu yang berkonsentrasi di Bali dan Blambangan, dinilai
sebagai suatu “Kenyataan Searah”. Keharusan sejarah dan Kenyataan sejarah
merupakan kehendak Tuhan dan bukan suatu kebetulan, jika pulau Bali, merupakan
kenyataan sejarah sebagai “Atsyarul Qodimah”. Sejarah masa lampau yang masih
bisa dilihat dan disrasa oleh mata dan dada, sebagai gambaran Nirwana yang
berada diatas “Sirah Jawa”.
Maka
benarlah kemudian, jika pulau Bali disebut sebagai pulau Dewata, pulau Seribu
Pura dan pulau bersemayamnya Sanghyang Widari sebagai penari. Pulau yang masih “dilestarikan”
Tuhan, beragam indu. Maka perkembangan Agama agama yang ada di Nusantara, tidak
sempat berbalik menjelajahi Jawa, menisi kenistaan yang terus bergelembung
menjadi “Jahiliyah”, tanpa ada “Sanghyang Sirah” yang mau berpikir dan
berdzikir tentang semua itu dengan menggunakan cara “Sunnaturasul” yang pernah
dilakukan “kemarin” oleh orang tua kita ditahun 1945, revolusi atau
menjungkirbalikkan keadaan.
Para agamawan Cuma mampu mendongeng, memperbodoh
dan membohongi diri sendiri dan bersikap apologik dengan masa lalu yang telah
ditelan oleh sejarah (semoga sejarah Andaluisia, tidak berulang di Indonesia) A’udzu
billah min dzalik.
Sebenarnya proses sejarah pulau Jawa, telah
terhimpun secara rapi dilaci “JAVANOLOGI”, suatu lembaga yang respentatip
mengangkat dan mendalami sejarah dan budaya Jawa yang sebenarnya Jawa, yaitu
Sunda, Madura, Bali dan Lombok, termasuk itos mitsnya dan mitos “Sirah Jawa”. Tetapi
mata picik dan juling, yang sering mengerling ketidakpengertiannya, telah
mengartikan Javanologi itu menjadi Javanisasi dan Java Centris ang menilai jawa
itu, Cuma Jawa tengah sekitas Kesultanan. Bukan jawa yang sebenarnya Jawa dalam
posisi berdiri, melakukan sesembahan sebagai “Sanghyang Sirah”.
Sebab
bentuk sebua benua atau pulau, bukan Cuma karena proses alam, ketika terjadinya
ledakan raksasa yang menimbulkan limpahan air samudra Nabi Nuh, sehingga Pangea
berserakan menjadi lima benua atau aketika benua atlantik tenggelam diantara
dua smadura dan mensisakan sejumlah kepulauan yang kemudian disebut Nusantara
dan oleh Jepang disebut Asia Timur Raya (Negara jepang sendiri, tergambar
seperti buaya).
Sesungguhnya
proses itu, bukan terjadi dengan sendirinya, tetapi atas kehendak Tuhan dengan
segala kasih sayangnya (Arrahman dan Arrahim), sehingga membuat pulau Jawa
menjadi pusat kebudayaan dengan segala mitos mitosnya yang masih disisakan
antara lain berupa mitos “Nyai Loro Kidul” yang berada di Samudra yang penuh
dengan misteri dan mitos “Sanghyang Sirah” yang meliputi arti Nusantara dimasa
yang akan datang.
HASNAN SINGODIMAYAN
Pengarang “Suluk Mu’tazilah”
Pengarang “Suluk Mu’tazilah”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar