Kehidupan
kaum gay dengan segala macam gayanya, sudah ada sejak jaman purba, sebab
merupakan qadrat Tuhan yang menciptakan manusia gender dalam jenis kelamin
ganda, untuk dijadikan sebagai ujian dan godaan bagi manusia yang beriman.
Sejarahnya cukup panjang untuk dikaji. Sejak kota kembar Sodom - Gomorah,
sampai kota tunggal Jakarta, tempat turunnya Ki Panji Kusmin dalam “Langit
Makin Mendung” yang memaksa HB Yassin duduk manis dibangku pengadilan
menghadapi persidangan.
Kalau
novel GAYAGAY karya Dann Julian yang berdasarkan “Kontroversi Dunia Gay Investigasi
Jurnalistik” itu merupakan kebenaran yang diimajinasikan, maka kota
metropolitan Jakarta hampir mendekati kota terkutuk yang sama dengan kota
kembar Sodom dan Gomorah di jaman purba, atau mendekati kota Bagdad di jaman
Khalifah Abasiah yang dihancurkan Halagu dari Mongol. Atau paling tidak hampir
sama dengan kota Granada yang digusur dari Spanyol oleh gabungan tentara
Kristen dan Katolik dibawah pimpinan Raja Ferdinand II dari Arogan dan Ratu
Isabelle I dari Castilia. Sehingga muslim di Andalusia menjadi kelompok urban
Gipsy yang bergaya seperti gay.
Kehancuran
ketiga kota itu, gayanya mendominasi kehidupan para penjabat yang berkuasa. “Nomentum
Raksasa” yang dicontohkan Tuhan,
yaitu ketika kelompok urban yang dipimpin Nabi Luth akan memasuki kota Sodom,
mereka ditolak oleh penduduk dan penguasanya, mereka dianjurkan membangun permukiman
sendiri di kaki gunung Gomorah.
Dibawah
pimpinan Nabi Luth mereka membuat perkemahan dikaki gunung Gomorah, tetapi
secara tidak sengaja mereka menemukan tambang garam yang berlimpah. Suatu
komoditi yang sangat dibutuhkan pada jaman itu. Sehingga membuat pemukiman itu
menjadi kota perdagangan yang menyaingi kota Sodom, dan sering disebutnya
sebagai kota kembar.
Tetapi
kehidupan pada kedua kota megah, menjadi kacau balau berhubung rana libido pada
sesama jenis. Lalu Luth diperintah Tuhan untuk meninggalkan kota mewah itu.
Sebab akan dihancurkan Tuhan dengan gempa yang meratakan kota itu, tertimbun
bebatuan gunung Gomorah yang pernah di keduk untuk mengambil garamnya.
Selain
kota Bagdad, ratusan abad sesudah hancurnya kota Sodom dan Gomorah, ada kota
metropolitan di Timur Tengah Dubai dan Riyadh. Sebagai pelanjut kebesaran kota
abil diantara sungai Trigis dan Elfurat. Pada saat puncaknya sebagai kota
“Seribu Satu Malam” dibawah sejumlah dinasti kota Bagdad mulai goyang
kebesarannya, ketika kedatanga ratusan urban dari Turki, dari Afghan dan dari
Iran, yang berstatus gay, maskulin yang bergaya feminin.
Mereka
ditempatkan di sejumlah Qasbah, pusat perdagangan yang sibuk, sebagai pekerja
yang luwes, tetapi setiap malam di kota “Seribu Satu Malam” sering terjadi perkelahian dan pembunuhan,
hanya untuk memperebutkan para gay. Sehingga Majlis Ulama Istana (MUI)
memutuskan untuk mengevakuasi ratusan gay untuk memasuki istana rumah keluarga,
sebagai pembantu, pelayan, juru masak, perias, penghibur dan kerja yang lain.
Tetapi apa yang terjadi kemudian?. Mereka berselingkuh dengan harem raja dan
harem juragan.
MUI
tak bisa memutusnya, tetapi kuasa raja lebih cepat memutuskan. Mereka
diburu-buru dan dihukum mati. Ratusan bergelimpangan di jalan jalan. Mereka
yang ingin melindungi, termasuk orang yang harus dihukum rajam. Apapun alasan
Halagu dari Mongol, dihalau pembantaian itu, tentaranya memasuki kota Bagdad
dengan kejam. Istana raja dibakar, penduduknya dibantai yang baru saja membantai
gay. Satu ujian yang paling berat bagi Bagdad.
Berlain
yang di Granada Anadalusia. Masjid Cardova dan gedung perpustakaan Alhambar cuma
menjadi sanksi bisu. Dr. Sir Muhammad Iqbal ketika di Cardova hanya menangis
tersengak sengak sangat dalamnya. Sebab Granada dan Masjid Cardova merupakan
kejayaan yang dibangun Jabal bin Tharek, ketika mendaratkan armadanya
didaratkan Eropa dan membakar ratusan kepalnya seraya mengucap kata semangat
“Didaratkan sana ada sorga, kembali kebelakang, ada laut dan neraka.” Maka kota
Granada yang dibangun merupakan kota ilmu pengetahuan yang terus berkembang.
Sebagai
kota metropolitan maskulin Eropa tampak lebih feminin maka rana libido menjadi
camput baur. Kekayaan yang diperolehnya dikorupsi untuk diri sendiri, hanya
untuk memiliki ratusan gay sebagai harem yang berkulit mulus seperti salju,
tetapi bertubuh hangat seperti sahara. Maka kota Granada dibangun oleh Ben
Ahamar yang bergamis serba merah pada tahun 1232, dalam waktu yang cukup
panjang, selama 300 tahun. Granada tersungkur, alhambara gersang dan Masjid
Cardova menangis. Dan Andalusia bukan Indonesia, semoga sejarahnya tidak
berulang disini.
Kemudian
jika membaa novel GAYAGAY karya Dann Julian dari sisi spiritualnya, merupakan
satu peringatan secuwil tentang Indonesia dan Jakarta. Sebab di Jakarta awal
kehidupan gay yang disebut secara impirik dengan sebutan “Selebriti” telah
memasuki zona zona kehidupan para pulitisi digedung DPR, tokoh tokoh masyarakat
di lobi lobi hotel, dan di kalangan seniman yang bukan seniman. Mereka semua
bergaya seperti “gaya gay”. Sekalipun akhirnya ada didepan pengadilan dan masuk
penjara.
Barangkali
Dann Julian, masih memiliki sejumlah dokumen dan catatan yang lebih lengkap
tentang gay yang telah menyusup dirana birokrasi. Sebab perkara kriminal yang
sering diungkap di media, tak pernah diselesaikan kasusnya, jika sudah
terbentur urusan perempuan dan gay.
Semoga
novel mungil yang bersampul buah apel yang seperti jantung dan diterbitkan PT.
Pustaka Sinar Harapan itu merupakan novel peringatan bagi para pejabat yang
belum terserempet oleh kehidupan para gay. Sebab Jakarta bukan Sodom dan Gomorah
seperti yang pernah diucapkan Panji Kusmin dalam “Langit Makin Mendung”.
Jakarta bukan Bagdad yang dipimpin Saddam Husein dan Jakarta ada di Indonesia
bukan di Andalusia.
Hasnan
Singodimayan
Pengarang
"Suluk Mu'tazilah"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar