Urusan
karang mengarang tidak terkait secara langsung dengan fakultas sastra, tetapi
Fakultas sastra yang harus mengaitkan dengan urusan karang-mengarang, terutama
program studi pendidikan bahasa, sastra Indonesia dan bahasa daerah. Sebab
karang mengarang hanya terkait dengan intuisi, yaitu kemampuan untuk memahami
suatu ilmu tanpa melalui penalaran rasional dan intelektual, sebab merupakan
bagian dari komponen jiwa dan raga, komponen ruh dan jasmani.
Intuisi
secara psikis punya tingkatan atau klasifikasi secara khusus pada setiap
individu atas kehendak Tuhan yang member anugrah. Intuisi itu secara kejiawaan
terbagai dalam beberapa tingkatan.
Intuisi
tingkat tertinggi atau Maha tinggi, disebut wahyul kasyaf atau wahyu tingkat menengah
disebut irhas dan ilham wangsit. Sedang tingkat terbawah disebut wisik atau
bisikan hati, sering dalam wujud firasat.
Wahyul
– khasyaf, hanya dipercayakan Allah Subhanallahu Wataala pada tiga orang
manusia sebagai Nabi pilihan, yaitu Muhammad Rosulullah, Isa Almasih dan Musa
Alaihisalam dengan memperoleh kitab suci yang harus dipercaya kebenarannya
secara mutlak sebagai Kalam Ilahi atau Sabda yaitu Taurat, Injil dan Al Qur’an.
Perkembangan
lebih lanjut dalam perjalanan sejarah, menjadi urusan religio Antropologi.
Taurat yang tersusun tidak lengkap. Injil yang dikurangi dan ditambahi oleh
para rosul penerusnya dan Al Qur’an yang ditafsir salahkan oleh Israil potensi
kata-katanya dan masih banyak lagi yang harus di benarkan.
Sedang
para Nabi yang lain dan sejulah pemikir sejamannya yang jumlahnya cukup banyak,
baik yang ada di Yunani Maksedonia, di China, di India dan di Nusantara, mereka
hanya memperoleh wahyu atau hidayat yang kadang-kadang didukung oleh Mu’jizat
yaitu suatu kejadian luar biasa di luar kemamouan akal berfikir manusia berupa
fenomena alam dan fenomena keadaan.
Intuisi
tingkat menengah yang dinamakan Irhas dipercayakan pada Auliya atau para wali,
pada cendikiawan jenius. Seperti Einstein yang menemukan teori Nisbi, para
filusuf dan para seniman Sufi, seperti Rumi, Al-Arabi dan penyair caliber dunia
seperti Prabu Jayabaya dan Dr. Sir Muhammad Iqbal yang mendahului jamannya
dalam kakawin dan Asrari Khudinya. Sedang ilham yang kadar intusisinya disebut
inspirasi milik dan dipercayakan pada seniman dan sastrawan yang terkait dengan
karang – mengarang yang akan diuraikan sebagai suatu pengalaman spiritual untuk
dijadikan wawasan.
Adapun
intuisi yang disebut wisik atau bisikan hati, merupakan intuisi terbawah berupa
firasat. Adalah milik kebanyakan orang, milik kita semua. Tetapi kurang
dipahami oleh setiap orang. Wisik bisa diupayakan untuk memperoleh ilmu
pengetahian di luar kehendaknya.
Tetapi
oleh sebagaian orang yang kurang memahami nilai spiritualnya. Lantas merasa
dirinya yang memperoleh wisik itu, setengkat dengan wali dan mengaku dirinya
Nabi, sebagai wali. Apalagi wisik itu diupayakan untuk memperoleh ilmu
guna-guna dengan sejumlah kajian ramalan dan matra-mantra dengan cara
menciptakan sejumlah kata magi. Apakah itu magi putih, magi hitam, magi merah
atau magi kuning (white magic, black magic, red magic, yellow magic). Di
Banyuwangi disebut ilmu santet.
Pembahasan
ini kita batasi pada uraian tentang intuisi yang disebut inspirasi atau ilham.
Terbatas pada urusan karang-mengarang sebagai karya sastra, baik puisi maupun
prosa, baik cerpen maupun novel.
Sebab
setiap jiwa manusia secara pribadi memiliki potensi yang disebut Bio-electron.
Sebagai situs hayati. Kemudian disekililingi manusia terdapat sejumlah media
benda yang mengandung Bio-plasma yang juga merupakan situs materi.
Hubungan
atau pertemuan antara situs Bio-electron dan situs Bio-Plasma, akan melahirkan
Bio-energi, merupakan suatu kekuatan yang bisa merubah keadaan sebaagai karya
cipta yang kreatif jadi tulisan dan buku.
Tetapi
bio-electron pada setiap diri manusia harus selalu di asah dengan ketekunan
membaca. Baik membaca ilmu pengetahuan yang berguna bagi dirinya sendiri da
masyarakat, maupun membaca keadaan sekitarnya. Bangsanya, negaranya dan
kehidupan sekelilingnya.
Operasionalnya,
bukan dengan cara menyendiri di tempat yang sepi dan hening, menunggu datangnya
inspirasi, tetapi harus dicari dan diburu. Ya ayuhal mudatsiqum andir.
Pemburuhan itu, boleh di keheningan malam ketika di perpustakaan, maupun dalam
kehidupan ramai ditengah – tengah masyarakat.
Kemudian
inspirasi yang telah diperolehnya itu, harus diramu, di godog, dimasak dengan
imajinasi, suatu proses yang menghasilkan dan melahirkan cita dan citra. Bentuk
idealism yang bisa ditebar, sebagai suatu kebenaran yang tidak harus dipercaya
kebenarannya, sebab dilahirkan oleh imajinasi.
Sumber
untuk mengolah imajinasi yang tidak terkait oleh waktu, ruang dan keadaan itu,
harus didukung oleh intelgensi, suatu kecerdasan atau keahlian pada bidangnya
masing-masing. Kalau mau menciptakan lagu, harus menguasai salah satu alat
music mengenal notasi. Baik peatonik maupun detatonik. Kalau menggarap ari,
harus mendalami koreografinya.
Demikian
juga mereka yang mau mengarang dan menjadi pengarang, baik cerpen dan novel
atau cerita lain. Harus ada perangkat pendukungnya, yaitu liguistik, dasar ilmu
bahsa. Terutama bahasa Indonesia dengan segala kelengkapannya. Jangan cuma asal
mengarang.
Intusi
atau inspirasi yang telah didukung oleh imajinasi dan intelgensi, harus punya
sasaran idealism, berupa situs yang kita percaya mengandung Bio-plasma. Berupa
kekuatan materi yang berisi nutfah hidup, berupa berbagai macam inti atom.
Tuhan
memberikan petunjuk tentang situs materi itu dengan menghadap Kiblat sebanyak
17 kali, sehari semalam yang mengarah pada Ka’bah. Suat situs materi yang
mengandung Bio-plasma yang bersifat sangat abadi.
Sebelumnya
situs-situs yang mengandung bio-plasma itu, ada dimana-mana. Bangsa Israil
maish percaya pada Bio-plasma yang ada di gunung Sinai dan tembok Sulaiman.
Orang-orang Nasrani, situsnya berada pada Salib di puncak bukit galilia. Orang
hindu pada puncak gunu Himalaya, gunung Agung dan sungai Gangga. Bangsa mesir
pada patung Spinx dan aliran sungai Nil.
Dan
masih banyak lagi situs-situs berupa benda yang dinilai mengandung bio-plasma.
Situs yang mengandung bio-plasma karbon, tidak bisa terbakar oleh api. Seperti
peristiwa Nabi Ibrahim di Babilonia. Dan peristiwa kecil terbakarnya Hotel Bali
di Sanur. Sebuah kamar tidak hangus oleh api.
Sedang
para pengarang secara umum, situs-situsnya berada di kitab dan buku-buku
diperpustakaan yang memadai atau pada lingkungan sekitarnya yang harus bisa
dibaca inspirasinya.
Dikalangan
yang intuisinya hanya terbatas pada wisik dan bisik. Maka situs yang dipercaya
mengandung bio-plasma juga terbatas hanya pada benda-benda yang dikeramatkan,
semacam kuburan, gua, batu-batu aneh, baik besar maupun kecil, keris atau benda
benda lain yang dianggap angker atau yang diangker-angkerkan.
Bio-plasma
sebagai sasaran idealism jika menyatu dengan bio-electron, bakal melahirkan
bio-energi, sebagai suatu karya cipta. Kadar penciptanya sebagai suatu karya,
berada di tangan pembaca dan kritikus sastra. Baik itu puisi, esay, cerpen dan
novel.
Jika
meluas pada para Nabi, melahirkan Mu’jizat yang sangat menakjubkan sebagai
petunjuk hidup. Berupa kitab dan petuah-petuah. Jika menyempit pada karya
dukun, melahirkan mantra-mantra satet dengan berbagai macam ramalan yang sulit
diramalkan.
Proses
penjiwaan yang terkandung pada intuisi dengan berbagai tingkatan dan
klasifikasi semacam wahyul kasyaf, wahyu irhas, ilham dan wisik. Serta proses
lebih lanjut pada diri pribadi. Setiap individu yang mengandug bio-electron dan
benda-benda yang mengandung bio-plasma dan proses lebih lanjut sebagai
bio-energi, bukan merupakan kajian teoritis di laborat atau berada di
ruang-ruang kampus. Tetapi suatau kenyataan yang berlaku dilapangan sejak
manusia dipercaya Tuhan sebagai khalifah fi muka bumi.
HASNAN SINGODIMAYAN
Pengarang ‘Suluk Mu’tazilah’