Cari Entri lain

Sabtu, 28 Maret 2015

KITAB BACAAN DUNIA


       






            Belum pernah ada dan tidak mungkin ada, kitab bacaa seperti kitab suci Al-Qur’an. Nilai narasinya sangat agung, ajaib dan gaib, mengandung potensi alam sepanjang abad dan abadi, sebagai “Sejarah manusia dan kemanusiaan”, sejak alam dan mahluk diciptakan dan manusia disertakan sebagai khalifah, sebagai penanggung jawab.
            Al-Qur’an merupakan kitab bacaan yang harus dibaca sepanjang masa oleh manusia. Bisa diterjemahkan, ditafsirkan dan dita’qilkan, menurut perkembangan jamannya, tidak terbatas pada jaman kitab Al-Qur’an diturunkan dengan sejumlah “asbabul nuzul” sebagai “amsilah”.
            Sebab “Sang Penerima” ketika itu, merupakan “Sosok Uswatun Hasanah” yang berskala sangat luas tak terbatas oleh jamannya. Nama nama yang disebut di dalam Al-Qur’an, merupakan nama nama universal yang ada pada setiap masa, baik pribadinya maupun pikirannya, yang kemudian berkembang seperti dalam suurat Al Asri sebagai suatu “isme”.
            Oleh karena itu, Islam menganjurkan ummatnya untuk selalu membaca Kitab Suci Al-Qur’an, dalam pengertian yang sangat luas, sekalipun Cuma membaca sebuah “ayat”. Bukan membaca dalam pengertian sempit, hanya bersuara merdu dengan olah vokal yang menyimpang dari kaidah yang benar, dilagukan dan disulingkan tanpa kaidah tajwid.
            Kemudian pada sisi yang lebih “PARAH”, sebagian ummatnya telah “BERANI” menambah dengan menyisipkan dan menitipkan sebuah nama atas seseorang yang bernama HABIB AN NAJJAR dalam surat Yasin, ayat 20, tanpa kajian yang lebih mendalam dan menukik dari berbagai segi pandangan ilmu pengetahuan, seperti yang dikehendaki Imam Sayuti.
            Surat Yasin merupakan “Sejarah manusia dan kemanusian” bangsa Yunani di Maksidonia kuna yang melahirkan banyak ahli pikir yang setingkat dengan Nabi dalam menghadapi sejumlah penganut Pagan yang senang menciptakan DEWA DEWA, diantara sekian banyak “Kekuatan jasmani” yang dipercaya sebagai TUHAN.
            Oleh para ahli sesudahnya, disebut kepercayaan “Halenis” yang sarat dengan mitologi atau mitos mitos. ZEUS, dinilai sebagai “Dewa segala Dewa” yang bertempat tinggal di bukit OLIMPIUS bersama dengan 12 Dewa yang lain. Kekuatan jasmani merupakan persembahannya dalam bentuk lomba dan digambarkan secara realistis sangat indah, semacam gambar Dewa Aries, Dewa Amor, Dewa Apollo, Dewa Paseidon, Dewa Hades, Dewa Mars dan dewa dewa yang lain.
            Allah, tidak mengutus seorang Nabi untuk bangsa Yunani, tetapi mengirim sejumlah pemikir yang ladui, setingkat dengan para Nabi dan diakui oleh duia sebagai pemikir agung semacam Plato, Aristoteles, Socrates, Piytagoras, Cireas, Apitetas, Atheranus dan Iskandar Zdukkurnain yang sama kedudukannya dengan Nabi Khidir. Seseorang yang pernah berlari diatas kuda dari ujung kota Athena, untuk menyadarkan bangsanya, agar ereka percaya pada ketiga pemikir jenius itu yang menyerukan tentang Keesaan Tuhan dan dinilai oleh Al-Qur’an, sebagai Utusan yang Mursalun. Seorang diantaranya mati di racun oleh Raja.
            Mungkin itulah yang dimaksud dalam surat Yasin ayat 13 sampai dengan ayat 29, sebanyak 17 ayat, sebagai momentum yang telah diangkat oleh para Pemikir Muslim di jaman Daulat Abbasiah, antara lain oleh Abu Ayub bin Ishak Al-Kindi, Abu Nasr Al-Farabi, Abu Al-walid bin Ahmad bun Rusydi, Mahyudin Ibnu Al Aravi, setelah ribuan tahun kemudian.
            Sesudah peristiwa itu diangkat oleh pemikir muslim, makam sejumlah pemikir muslim yang lain, mengembangkan peristiwa itu jadi semacam legenda, tetapi masih terkait dengan Keesaan kepda Tuhan. Terutama tentang kepetualangan Iskandar Zdukqurnain “Kebarat dan ketimur”.
            Iskandar telah dituntut oleh para pendeta Pagan itu, memburu dewa yang masih “tertinggal dan tunggal” yaitu Dewa Ra atau Dewa Matahari ditempat bersemayamnya di “Air Kehidupan” atau Ma’ul hayat, disebelah barat dipuncak gununf ALF, tetapi Dewa Ra terus tenggelam ke arah kegelapan. Malah mereka sempat bertemu dengan sekelompok suku purba eropa yang masih primitif kanibalis, mereka belum bisa berbahasa, karena keterbatasan perbendaharaan kata kata.
     Rombongan Zdul Qurnain, merasa keliru arah perjalanannya “Bukan memburu Ra, tetapi menjemput Ra” ke arah sebaliknya, yaitu ke arah terbitnya matahri, ke arah timur. Sejauh perjalanan yang ditempuh dengan berkuda, bertahun tahun. Akhirnya mereka menemukan “Air Kehidupan” yang bernama sungai Gangga dan sunga Indus.
            Mereka telah bertemu dengan sejumlah suku bangsa yang telah maju peraabannya bisa melunakkan besi dan menjinakkan api. Mereka telah berpenghuni seperti bangsa Yunani, mendirikan bengunan untuk melakukan sesembahan kepada Yang Maha Tunggal yang berada didalam BUDHI, yang tak bisa dipikir tentang zatNYA. Sebenarnya suku bangsa tang telah maju itu merupakan satu bangsa dengan Zdulqurnain yang berasal dari Ras Kabil dan Habil di masa purba yang lalu.
            Iskandar yang memimpin kepetualangan pada dua arah “Kebarat dan ketimur”, kemudian diangkatnya sebagai Raja dengan julukan Maha Raja “Zdul Qurnain” yang berarti “Raja yang mempunyai dua tanduk”. Jadi bukan “Habib An Najjar” yang dipaksa keberadaan namanya pada tafsir Surat Yasin, ayat 20 oleh Kitab Tafsir Al-Jumatul Ali Bandung yang disebutnya “Seuntai mutiara yang maha luhur”. Sedang pada kitab tafsir yang lain sebelumnya, sejak tafsir Mahmud Yanus 1940 sanmpai dengan tafsir Al-Furqan 1962, nama Habib itu tidak dicantumkan.
            Cerita Habib An Najjar itu, merupakan cerita legenda yang berkadar dongeng yang tersebar secara luas dikalangan ummat Islam dengan versi yang berbeda dan tidak jelas keberadaannya dan jamannya. Malah isbah kisahnya di negara Malaysia. Jauh lebih berkembang dan menyimpang nama Habib menjadi Abagus Al-Asyabah wan Nadhaur, seorang tukang kayu yang berpenyakitan, hidup di kota Antioch dan meninggal di gunung Silipous. Apakah yang dimaksud kota kuna Antiokhia dan kota Seleukia diperbatasan antara Sisilia dan Fenisia di Kerajaan Het.
            Sebab legenda itu hampir sama dengan legenda Prabu Minakhingga di Kerajaan Blambangan di Indonesia dengan sejumlah nama yang berbeda, Ariya Wirabumi, Joko Umbaran dan masih banyak lagi yang bisa diciptakan. Ada dan tidak adanya, kurang jelas dan tidak didukung oleh data. Hanya sekedar ingin melecehkan kebesaran Blambangan oleh Mataram.
Hasnan Singodimayan
Pengarang “Sulluk Mu’tazilah”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar