Cari Entri lain

Rabu, 21 Mei 2014

POTENSI BUDAYA



Potensi budaya merupakan gerak dinamik yang harus dikendalikan, sebab merupakan fitrah ilahi yang terus bergerak memenuhi hasrat hati nurani penguasanya sebagai pemilik tunggal, yaitu MANUSIA. Terutama budaya Seni. Baik seni bertutur, seni bersuara, seni bergerak, seni berbunyi, seni berupa, seni bertulis, seni berbusana, seni berhias dan seni ber-apa saja. Sehingga menjadi identitas diri pribadi dan komunitas. Baik identitas terbatas secara profesional maupun identitas tempat tinggal, suka dan identitas suatu bangsa.
Sejumlah Pemerhati budaya dan sejumlah Pakar budaya Jawa Timur, telah bertemu di Kota Batu Malang, untuk mencari penguatan identitas budaya Jawa Timur, melalui transformasi budaya tradisional. Sebab Jawa Timur merupakan Provinsi satu-satunya di Indonesia yang memiliki Potensi Budaya yang cukup rumit untuk diuraikain.
Di Jawa Timut, ada Jawa Mataraman, yang berarti bukan Jawa Pesisiran. Jawa Pesisiran, sering disebut Budaya Arek. Ada Madura dengan sejumlah Madura lain. Madura Bawean yang Melayu dan Madura Kepulauan yang Bugis, serta Madura Pendalungan yang ada di Jawa, di Probolinggo, di Situbondo, di Bondowoso, di Jember dan di Lumajang. Disamping Maduranya sendiri yang banyak makan garam perjuangan yang bercelurit emas.
Jawa Timur punya budaya Panoragan yang punya Reog Ponorogo. Tetapi Reog Ponorogo, tidak cuma di Ponorogo, tetapi berada disebagian besar wilayah Jawa Timur, sebagian lagi di wilayah transmigrasi dan sebagian sangat kecil, tersesat di Malaka, sebelum perang kedua. Jika sekarang diakui Malaysia sebagai Tari Singobarong. Tak usah di gubris pada sifat negara itu yang cleptomania etestika.
Jawa Timur punya kantong Etnis yang bertahan pada Adat Istiadat dan Kepercayaan. Komunitas Samin di Bojobegoro. Masyarakat Tengger di puncak Gunung Bromo dan Etnis Using yang sangat ketat dengan sdeni Budayanya, baik seni musik, seni tari dan bahasanya egaleter. Disamping kantong kantong etnis yang berada di kota, berupa perkampungan yang disebut Kampung Melayu, Kampung Mandar, Kampung Bali, Kampung Maduran, Kampung Arab dan Pecinan.
Maka potensi Jawa Timur dalam rangka mencari penguatan identitas, harus ditata sedemikian rupa, sehingga Jawa Timur tampak Jawa Timurnya. Sebab potensi budaya yang dikandungnya sangat luas dan bervariasi. Harus ada pembinaan secara integral oleh para budayawan dan cendikiawan disamping kekuasaan.
Selama tahun enampuluhan, Jawa Timur pernah terkenal sebagai Provinsi Ludruk, berkat nama Cak Durasin. Sekelompok ludruk yang digagas kalangan Marhenis merajai sebagian besar kota-kota di Jawa Timur dengan nama Ludruk Marhenis, tetapi menjelang tahun 1965, ludruk Marhein dikuasai kelompok  yang proletar yang komunis, bernasib babak belur. Sedang ludruk proletar yang digagas para proletar di desa desa, malah terlantar di latar latar pedesaan tanpa pembinaan.
Hampir sama dengan seni tradisional yang lain di daerah daerah yang merupakan seni tradisional ADHILUHUNG, tanpa generasi,tanpa organisasi, sehingga terlihat mati suri, hanya dilihat para tetua yang sudah tua tua. Transformasi budaya secara impirik punya pola, seperti yang pernah dilakukkan Pekerja Seni di Banyuwangi.
Seandainya Seni Gandrung, bentuk tari jejernya tdak di DOWNLOAD oleh para Seniman sebagai tari pergaulan remaja di sekolah sekolah. Barangkali tari Gandrung dan generasinya sendiri susah dimarjinalkan di desa desa. Bernasb seperti ledek, gembiak, tandak, ronggeng, colek dan tari bumbung. Sehingga tidak pernah ada yang namanya seribu gandrung, apalagi dua ribu paju gandrung.
Upacara adat Barong Ider Bumi, kebo-keboan dan upacara adat Seblang, merupakan upacara adat yang tak terjamah oleh kalangan remaja, terutama di kota-kota. Tetapi dengan transformasi budaya yang ditangani bersama-sama antara Seniman, budayawan, cendikiawan dan Kekuasaan. Upacara adat itu digiring memasuki transformasi budaya lewat Etno Carnival dan Etno Festival. Ratusab remaja putra dan putri, bersedia menjadi Barong, menjadi Kebo-keboan dan menjadi Seblang. Dikembangkan dalam bentuk kontemporer. Disenangi para remaja bergaya seperti selebriti, tetap cantik dan ganteng.
Gandrung seni adiluhung, tidak cuma berpentas di bawah terob., ditonton oleh para tetua yang masih minum tuak bersama miras, tetapi Gandrung sudah memenuhi pantai Selat Bali, sebanyak seribu Gandrung dan dua ribu pemaju. Gending Gandrung yang melakonik, sarat dengan lirik-lirik sastra, diangkat sebagai lagu-lagu daerah modern yang didengar secara nasional. Tetapi nyaris babak belur, karena lirik lagu genjer-genjer di perpulitisir.
Ketika fetival tari nasional di Jakarta, tari Gandrung marsan yang mewakili Jawa Timur, telah menggeser Bali dan Yogya. Maka tari Gandrung secara sayup-sayup ditenggarai sebagai identitas Jawa Timur, menggeser Kearapan Sapi, Reog Ponorogo dan Ludruk.
Ketika seni tradisional Banyuwangi ditampilkan di Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya, dua hari sebelum Rakor di Batu Malang. Wakil Gubernur Jawa Timur, Syaifullah Yusuf yang ikut menyaksikan, sempat berseloro dengan mengucapkan salam sambutannya pada sejumlah penonton dengan ucapan unik dan menarik “Hadir-In dan Hadir-Out”, yaitu untuk mereka yang hadir di dalam pendapa dan yang hadir di luar pendapa.
Sapaan itu ditegur oleh Budayawan Banyuwangi yang sama sama dari Pesantren “Pak Yusuf telah merubah kaidah bahasa Arab”. Jawabnya singkat “saking banyaknya yang hadir, sampai beludak ke halaman”. Dan itulah seni tradisional dari Banyuwangi, penuh kreasi dan inovasi.
Mau nonton? Silahkan datang ke Banyuwangi, bulan Agustus, September, Oktober, November dan puncaknya di bulan desember.


Hasnan Singodimayan
Pengarang “Suluk Mu’tazilah”
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar