Potensi
budaya merupakan gerak dinamik yang harus dikendalikan, sebab merupakan fitrah
ilahi yang terus bergerak memenuhi hasrat hati nurani penguasanya sebagai
pemilik tunggal, yaitu MANUSIA. Terutama budaya Seni. Baik seni bertutur, seni
bersuara, seni bergerak, seni berbunyi, seni berupa, seni bertulis, seni
berbusana, seni berhias dan seni ber-apa saja. Sehingga menjadi identitas diri
pribadi dan komunitas. Baik identitas terbatas secara profesional maupun
identitas tempat tinggal, suka dan identitas suatu bangsa.
Sejumlah
Pemerhati budaya dan sejumlah Pakar budaya Jawa Timur, telah bertemu di Kota
Batu Malang, untuk mencari penguatan identitas budaya Jawa Timur, melalui
transformasi budaya tradisional. Sebab Jawa Timur merupakan Provinsi
satu-satunya di Indonesia yang memiliki Potensi Budaya yang cukup rumit untuk
diuraikain.
Di
Jawa Timut, ada Jawa Mataraman, yang berarti bukan Jawa Pesisiran. Jawa
Pesisiran, sering disebut Budaya Arek. Ada Madura dengan sejumlah Madura lain.
Madura Bawean yang Melayu dan Madura Kepulauan yang Bugis, serta Madura
Pendalungan yang ada di Jawa, di Probolinggo, di Situbondo, di Bondowoso, di
Jember dan di Lumajang. Disamping Maduranya sendiri yang banyak makan garam
perjuangan yang bercelurit emas.
Jawa
Timur punya budaya Panoragan yang punya Reog Ponorogo. Tetapi Reog Ponorogo,
tidak cuma di Ponorogo, tetapi berada disebagian besar wilayah Jawa Timur,
sebagian lagi di wilayah transmigrasi dan sebagian sangat kecil, tersesat di
Malaka, sebelum perang kedua. Jika sekarang diakui Malaysia sebagai Tari
Singobarong. Tak usah di gubris pada sifat negara itu yang cleptomania
etestika.
Jawa
Timur punya kantong Etnis yang bertahan pada Adat Istiadat dan Kepercayaan.
Komunitas Samin di Bojobegoro. Masyarakat Tengger di puncak Gunung Bromo dan
Etnis Using yang sangat ketat dengan sdeni Budayanya, baik seni musik, seni
tari dan bahasanya egaleter. Disamping kantong kantong etnis yang berada di
kota, berupa perkampungan yang disebut Kampung Melayu, Kampung Mandar, Kampung
Bali, Kampung Maduran, Kampung Arab dan Pecinan.
Maka
potensi Jawa Timur dalam rangka mencari penguatan identitas, harus ditata
sedemikian rupa, sehingga Jawa Timur tampak Jawa Timurnya. Sebab potensi budaya
yang dikandungnya sangat luas dan bervariasi. Harus ada pembinaan secara
integral oleh para budayawan dan cendikiawan disamping kekuasaan.
Selama
tahun enampuluhan, Jawa Timur pernah terkenal sebagai Provinsi Ludruk, berkat
nama Cak Durasin. Sekelompok ludruk yang digagas kalangan Marhenis merajai
sebagian besar kota-kota di Jawa Timur dengan nama Ludruk Marhenis, tetapi
menjelang tahun 1965, ludruk Marhein dikuasai kelompok yang proletar yang komunis, bernasib babak
belur. Sedang ludruk proletar yang digagas para proletar di desa desa, malah
terlantar di latar latar pedesaan tanpa pembinaan.
Hampir
sama dengan seni tradisional yang lain di daerah daerah yang merupakan seni
tradisional ADHILUHUNG, tanpa generasi,tanpa organisasi, sehingga terlihat mati
suri, hanya dilihat para tetua yang sudah tua tua. Transformasi budaya secara
impirik punya pola, seperti yang pernah dilakukkan Pekerja Seni di Banyuwangi.
Seandainya
Seni Gandrung, bentuk tari jejernya tdak di DOWNLOAD oleh para Seniman sebagai
tari pergaulan remaja di sekolah sekolah. Barangkali tari Gandrung dan
generasinya sendiri susah dimarjinalkan di desa desa. Bernasb seperti ledek,
gembiak, tandak, ronggeng, colek dan tari bumbung. Sehingga tidak pernah ada
yang namanya seribu gandrung, apalagi dua ribu paju gandrung.
Upacara
adat Barong Ider Bumi, kebo-keboan dan upacara adat Seblang, merupakan upacara
adat yang tak terjamah oleh kalangan remaja, terutama di kota-kota. Tetapi
dengan transformasi budaya yang ditangani bersama-sama antara Seniman,
budayawan, cendikiawan dan Kekuasaan. Upacara adat itu digiring memasuki
transformasi budaya lewat Etno Carnival dan Etno Festival. Ratusab remaja putra
dan putri, bersedia menjadi Barong, menjadi Kebo-keboan dan menjadi Seblang.
Dikembangkan dalam bentuk kontemporer. Disenangi para remaja bergaya seperti
selebriti, tetap cantik dan ganteng.
Gandrung
seni adiluhung, tidak cuma berpentas di bawah terob., ditonton oleh para tetua
yang masih minum tuak bersama miras, tetapi Gandrung sudah memenuhi pantai
Selat Bali, sebanyak seribu Gandrung dan dua ribu pemaju. Gending Gandrung yang
melakonik, sarat dengan lirik-lirik sastra, diangkat sebagai lagu-lagu daerah
modern yang didengar secara nasional. Tetapi nyaris babak belur, karena lirik
lagu genjer-genjer di perpulitisir.
Ketika
fetival tari nasional di Jakarta, tari Gandrung marsan yang mewakili Jawa
Timur, telah menggeser Bali dan Yogya. Maka tari Gandrung secara sayup-sayup
ditenggarai sebagai identitas Jawa Timur, menggeser Kearapan Sapi, Reog
Ponorogo dan Ludruk.
Ketika
seni tradisional Banyuwangi ditampilkan di Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya,
dua hari sebelum Rakor di Batu Malang. Wakil Gubernur Jawa Timur, Syaifullah
Yusuf yang ikut menyaksikan, sempat berseloro dengan mengucapkan salam
sambutannya pada sejumlah penonton dengan ucapan unik dan menarik “Hadir-In dan
Hadir-Out”, yaitu untuk mereka yang hadir di dalam pendapa dan yang hadir di
luar pendapa.
Sapaan
itu ditegur oleh Budayawan Banyuwangi yang sama sama dari Pesantren “Pak Yusuf
telah merubah kaidah bahasa Arab”. Jawabnya singkat “saking banyaknya yang
hadir, sampai beludak ke halaman”. Dan itulah seni tradisional dari Banyuwangi,
penuh kreasi dan inovasi.
Mau
nonton? Silahkan datang ke Banyuwangi, bulan Agustus, September, Oktober,
November dan puncaknya di bulan desember.
Hasnan
Singodimayan
Pengarang
“Suluk Mu’tazilah”