Cari Entri lain

Kamis, 10 April 2014

GENDER



Pengertian gender telah diuraikan secara sangat luas dan impirik didalam Kitab Suci Al-Qur’an, Surat An-Nisa’, baik sebagai Perempuan, baik sebagai istri maupun sebagai Ibu. Sebab Gender itu merupakan seperangkat Peran, Perilaku, Kegiatan dan atribut budaya yang dianggap mendukung penampilannya yang “Merangsang dan Menarik”, berdasar pada fitrah yang dianugrahkan Tuhand alam bentuk ragawi dengan tubuhnya yang “Sarat dengan rahasia”. Penilaian Para pakar gender, terlihat masih samar-samar. Mereka bukan tulang punggung, cuma tulang rusuk, lemah.
Sehingga menimbulkan berbagai pertanyaan “APA sebenarnya perempuan itu?”, tetapi “SIAPA sebenarnya perempuan itu?”, sudah terjawab sejak HAWA atau EVA, merayu ADAM untuk memakan “Buah kebudayaan”. Akhirnya mereka punya pertanggungan jawab “moral” terhadap dunia dan isinya, maka kemudian dipercaya Tuhan sebagai KHALIFAH, penguasa ciptaan Tuhan yang ada di dunia. Sejak menguasai enersi ion ion didalam komputer.
Hanya kepada perempuan, Tuhan membatasi untuk tidak dijadikan sebagai “Penguasa Tunggal” yang punya “tongkat” komando sebagai Komandan. Sebab sejarahnya cukup panjang yang ditinggalkan pada generasi selanjutnbya. Sejak Nyai Loro Kidul sebagai Penguasa tunggal di Negara Atlantika. Ratu Putri disepanjang sungai Amazon di Brazilia. Ratu Shima di Nuswantara sampai pada Cleopatra di Mesir yang Fir’aun gender itu, menundukkan para Penguasa Romawi tersungkur dikakinya, Ceacear, Antonius, Brutus dan Oktavianus secara pribadi.
Sejarahnya masih berlanjut sampai sekarang, terasa cukup hangat pada generasi Mislim yang mau berpikir, tentang dua tokih perempuan yang memporak porandakan Mesir di Sinai, hanya dalam beberapa minggu dan menggusur Pakistan dari Banglades dalam beberapa bulan, yaitu Goldda Meir, Perdana Menteri Israil dan Indira Gandhi Perdana Mentri India, serta seorang Margaret Theacher Perdana Mentri Inggris yang melemparkan tentara Argentina dari kepulauan Malvinas.
Di tangan Perempuan kenyataan sejarah terus berlaku, tetapi bukan keharusan sejarah menurut Sunnaturasul, menurut hukum revolusi. Sebab jatah atau quota yang diberikan kepada perempuan untuk Pemilihan Umum, merupakan rekayasa politik yang tidak berdasar pada Sunnatullah, yaitu hukum evolusi. Perempuan punya wewenang untuk tampil dan berbicara.
Raja Sulaiman yang nabi itu, mampu menundukkan kekuasaan Ratu Balqis yang maha jaya itu dengan kebijakannya sebagai seorang Nabi, didasarkan dengan hukum revolusi lewat materi, suatu karakter pembawaan wanita dan bentuk kelemahan perempuan. Istana Raja Sulaiman jauh lebih megah dan indah, dibandingkan istana Ratu Balqis.
Tetapi sejarah tokoh gender di Nusantara, pernah diperlakukan secara tidak adil oleh Para Wali. SITI JENAR, merupakan tokoh gender yang berbeda pandangan dengan Penguasa di Demak. Namanya ditambah dengan SYEH, supaya terkesan sebagai seorang lelaki. Kemudian dibunuh dan jazadnya diganti dengan bangkai anjing kurap. Sebagaian perngikutnya yang kebanyakan gender itu, dibantai secara semena-mena dimana-mana.
Sejarah gender terus berjalan sebagai keharusan dan bukan sebagai kenyataan. Sebab kenyataan telah diputar balikkan. Gender Cuma dijadikan sebagai pelengkap perhitungan, supaya jangan disebut ganjil. Tetapi ramalan Jayabaya lebih mengerikan, sebab di Jawa nantinya,jumlah gender jauh lebih dominan dari pada lelaki. Mereka bakal menjadi Penguasa perkasa memerintah para priya.



Hasnan Singodimayan
Pengarang  “Suluk Mu’tazilah”

Kamis, 03 April 2014

CASTING DAN ACTING



Keduanya kata kerja bahasa Inggris, tetapiarti impiriknya berada didalam film cerita, sulit diterjemahkan dalam bahasa harian, sebab sudah berakar ilmu pengetahuan sineas, jika tokoh Nopoleon seperti Marlon Brande, jika tokoh Cleopatra seperti Liz Taylor dan Raja Nere, seperti Peter Ustinov. Mereka  yang kritis kemudian bertanya “Apa tidak sebaliknya? Marlon Brande seperti Nopoleon, Liz Taylor seperti Cleopatra dan Peter Ustinov seperti Raja Nere?.
Bukan masalah terbalik dan tidak terbalik, tetapi masalah Casting dan Acting “Pemilihan tokohnya yang tepat dengan harapan”, bukan seperti film da sinetron Indonesia. Pemilihan tokohnya tidak pernah tepat sama sekali, apalagi actingnya. Hanya sekali yang secara kebetulan pemilihan castingnya hampir cocok, yaitu Cut Nyak Dien yang Kristin Hakim. Sesudah itu tak pernah ada aktor yang dapat diandalkan sebagai tokoh Indonesia.

Hanya sekilaspada tokoh Kiyahi Ahmad Dahlan dan Kiyahi Wahid Hasyim, tetapi tokoh Bung Karno dalam Revolt in Paradie, masih kurang terkesan. Pemilihan seorang tokoh dalam cerita film, bukan semacam pemilihan tokoh dalam Pemilihan umum.
Sejumlah gambar berderet deret sejumlah jalan dengab sejumlah actingnya yang bergaya kampungan dan sejumlah litle creditnya yang sarat dengan pembohongan dan pembodohan. Sebab jadinya nanti seperti film sinetrom yang “tidak sesuai dengan harapan”.
Mereka tidak seperti Cut Nyak Dien, tidak seperti Ahmad Dahlan dan tidak seperti Wahid Hasyim, apalagi seperti Bung Karno. Mereka Cuma seperti Selebriti yang berperan di film sinteron. Jadi apa saja, asal bisa tampil dan dapat duit banyak. Urusan bermutu dan tidak bermutu, adalah urusan belakang yang tidak perlu diurus.
Mereka para selebriti itu, tak punya nurani dan tak punya cita cita. Bagaimana Republik ini nantinya, mereka tak peduli. Dijajah kembali oleh materi atau jadi tiga belas negara kecil-kecil, mereka tak peduli dan tak peduli. Panacasila jadi Panci selo, sebagai wadahnya batu dan rakyat makan batu, mereka tak pernah peduli.
 Sebab di kepala mereka hanya terbayang duit dan kulit, sehingga tidak perlu adanya Casting dan Acting untuk para caleg, sebab mereka itu bukan tokoh, mereka cuma aktor dan aktris yang tidak berbakat. Casting dan actingnya, cuma pembodohan dan pembohongan.

HASNAN SINGODIMAYAN
Pengarang "Suluk Mu'tazilah"