Belum pernah ada dan tidak mungkin
ada, kitab bacaa seperti kitab suci Al-Qur’an. Nilai narasinya sangat agung,
ajaib dan gaib, mengandung potensi alam sepanjang abad dan abadi, sebagai “Sejarah
manusia dan kemanusiaan”, sejak alam dan mahluk diciptakan dan manusia
disertakan sebagai khalifah, sebagai penanggung jawab.
Al-Qur’an merupakan kitab bacaan
yang harus dibaca sepanjang masa oleh manusia. Bisa diterjemahkan, ditafsirkan
dan dita’qilkan, menurut perkembangan jamannya, tidak terbatas pada jaman kitab
Al-Qur’an diturunkan dengan sejumlah “asbabul nuzul” sebagai “amsilah”.
Sebab “Sang Penerima” ketika itu,
merupakan “Sosok Uswatun Hasanah” yang berskala sangat luas tak terbatas oleh
jamannya. Nama nama yang disebut di dalam Al-Qur’an, merupakan nama nama
universal yang ada pada setiap masa, baik pribadinya maupun pikirannya, yang
kemudian berkembang seperti dalam suurat Al Asri sebagai suatu “isme”.
Oleh karena itu, Islam menganjurkan
ummatnya untuk selalu membaca Kitab Suci Al-Qur’an, dalam pengertian yang
sangat luas, sekalipun Cuma membaca sebuah “ayat”. Bukan membaca dalam
pengertian sempit, hanya bersuara merdu dengan olah vokal yang menyimpang dari
kaidah yang benar, dilagukan dan disulingkan tanpa kaidah tajwid.
Kemudian pada sisi yang lebih “PARAH”,
sebagian ummatnya telah “BERANI” menambah dengan menyisipkan dan menitipkan
sebuah nama atas seseorang yang bernama HABIB AN NAJJAR dalam surat Yasin, ayat
20, tanpa kajian yang lebih mendalam dan menukik dari berbagai segi pandangan
ilmu pengetahuan, seperti yang dikehendaki Imam Sayuti.
Surat Yasin merupakan “Sejarah
manusia dan kemanusian” bangsa Yunani di Maksidonia kuna yang melahirkan banyak
ahli pikir yang setingkat dengan Nabi dalam menghadapi sejumlah penganut Pagan
yang senang menciptakan DEWA DEWA, diantara sekian banyak “Kekuatan jasmani”
yang dipercaya sebagai TUHAN.
Oleh para ahli sesudahnya, disebut
kepercayaan “Halenis” yang sarat dengan mitologi atau mitos mitos. ZEUS,
dinilai sebagai “Dewa segala Dewa” yang bertempat tinggal di bukit OLIMPIUS
bersama dengan 12 Dewa yang lain. Kekuatan jasmani merupakan persembahannya
dalam bentuk lomba dan digambarkan secara realistis sangat indah, semacam
gambar Dewa Aries, Dewa Amor, Dewa Apollo, Dewa Paseidon, Dewa Hades, Dewa Mars
dan dewa dewa yang lain.
Allah, tidak mengutus seorang Nabi
untuk bangsa Yunani, tetapi mengirim sejumlah pemikir yang ladui, setingkat
dengan para Nabi dan diakui oleh duia sebagai pemikir agung semacam Plato,
Aristoteles, Socrates, Piytagoras, Cireas, Apitetas, Atheranus dan Iskandar
Zdukkurnain yang sama kedudukannya dengan Nabi Khidir. Seseorang yang pernah
berlari diatas kuda dari ujung kota Athena, untuk menyadarkan bangsanya, agar ereka
percaya pada ketiga pemikir jenius itu yang menyerukan tentang Keesaan Tuhan
dan dinilai oleh Al-Qur’an, sebagai Utusan yang Mursalun. Seorang diantaranya
mati di racun oleh Raja.
Mungkin itulah yang dimaksud dalam
surat Yasin ayat 13 sampai dengan ayat 29, sebanyak 17 ayat, sebagai momentum
yang telah diangkat oleh para Pemikir Muslim di jaman Daulat Abbasiah, antara
lain oleh Abu Ayub bin Ishak Al-Kindi, Abu Nasr Al-Farabi, Abu Al-walid bin
Ahmad bun Rusydi, Mahyudin Ibnu Al Aravi, setelah ribuan tahun kemudian.
Sesudah peristiwa itu diangkat oleh
pemikir muslim, makam sejumlah pemikir muslim yang lain, mengembangkan
peristiwa itu jadi semacam legenda, tetapi masih terkait dengan Keesaan kepda
Tuhan. Terutama tentang kepetualangan Iskandar Zdukqurnain “Kebarat dan ketimur”.
Iskandar telah dituntut oleh para
pendeta Pagan itu, memburu dewa yang masih “tertinggal dan tunggal” yaitu Dewa
Ra atau Dewa Matahari ditempat bersemayamnya di “Air Kehidupan” atau Ma’ul
hayat, disebelah barat dipuncak gununf ALF, tetapi Dewa Ra terus tenggelam ke
arah kegelapan. Malah mereka sempat bertemu dengan sekelompok suku purba eropa
yang masih primitif kanibalis, mereka belum bisa berbahasa, karena keterbatasan
perbendaharaan kata kata.
Rombongan Zdul Qurnain, merasa
keliru arah perjalanannya “Bukan memburu Ra, tetapi menjemput Ra” ke arah
sebaliknya, yaitu ke arah terbitnya matahri, ke arah timur. Sejauh perjalanan
yang ditempuh dengan berkuda, bertahun tahun. Akhirnya mereka menemukan “Air
Kehidupan” yang bernama sungai Gangga dan sunga Indus.
Mereka telah bertemu dengan sejumlah
suku bangsa yang telah maju peraabannya bisa melunakkan besi dan menjinakkan
api. Mereka telah berpenghuni seperti bangsa Yunani, mendirikan bengunan untuk
melakukan sesembahan kepada Yang Maha Tunggal yang berada didalam BUDHI, yang
tak bisa dipikir tentang zatNYA. Sebenarnya suku bangsa tang telah maju itu
merupakan satu bangsa dengan Zdulqurnain yang berasal dari Ras Kabil dan Habil
di masa purba yang lalu.
Iskandar yang memimpin kepetualangan
pada dua arah “Kebarat dan ketimur”, kemudian diangkatnya sebagai Raja dengan
julukan Maha Raja “Zdul Qurnain” yang berarti “Raja yang mempunyai dua tanduk”.
Jadi bukan “Habib An Najjar” yang dipaksa keberadaan namanya pada tafsir Surat
Yasin, ayat 20 oleh Kitab Tafsir Al-Jumatul Ali Bandung yang disebutnya “Seuntai
mutiara yang maha luhur”. Sedang pada kitab tafsir yang lain sebelumnya, sejak
tafsir Mahmud Yanus 1940 sanmpai dengan tafsir Al-Furqan 1962, nama Habib itu
tidak dicantumkan.
Cerita Habib An Najjar itu,
merupakan cerita legenda yang berkadar dongeng yang tersebar secara luas
dikalangan ummat Islam dengan versi yang berbeda dan tidak jelas keberadaannya
dan jamannya. Malah isbah kisahnya di negara Malaysia. Jauh lebih berkembang
dan menyimpang nama Habib menjadi Abagus Al-Asyabah wan Nadhaur, seorang tukang
kayu yang berpenyakitan, hidup di kota Antioch dan meninggal di gunung
Silipous. Apakah yang dimaksud kota kuna Antiokhia dan kota Seleukia diperbatasan
antara Sisilia dan Fenisia di Kerajaan Het.
Sebab legenda itu hampir sama dengan
legenda Prabu Minakhingga di Kerajaan Blambangan di Indonesia dengan sejumlah
nama yang berbeda, Ariya Wirabumi, Joko Umbaran dan masih banyak lagi yang bisa
diciptakan. Ada dan tidak adanya, kurang jelas dan tidak didukung oleh data. Hanya
sekedar ingin melecehkan kebesaran Blambangan oleh Mataram.
Hasnan Singodimayan
Pengarang “Sulluk
Mu’tazilah”