Produk
ritual yang diciptakan Tuhan dan dipercayakan kepada manusia pilihan berupa
kitab suci, bukan sekedar kitab mitos yang dibaca dengan nada minir atau dengan
suara padu dalam lagu atau dengan suara nyaring melengking mencengkan angkasa.
Tetapi merupakan kitab sejarah masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang,
untuk dikaji pengembangannya sebagai suatu jalan, suatu aturan moral dan
sebagai sumber ilmu pengetahuan yang mengandung kebenaran mutlak untuk
diyakini. Sehingga manusia tidak terjebak dan tergiring dalam pembohongan
dan pembodohan.
Sebermula
pembohongan dan pembodohan itu, dilakukan pada dirinya sendiri. Sebab
kitab-kitab yang dibacanya sekedar dibaca, berdasar pada kosa kata dan artinya
secara verbal. Kandungannya secara puitissebagai bahasa ritual, kurang bisa
dipahami.
Maka
proses pembohongan dan pembodohan mulai dilakukan dengan bentuk pemaksaan,
berupa bangunan yang diangker angkerkan dan para pendukungnya memakai atribut
yang bergaya “seperi” Insan Nirwana, Manusia Sorgawi dan omo Firdausi.
Bahasa
ritual harus dipahami dengan produk budaya dan pembudayaan, bukan secara verbal
dengan bahasa manusia, seingga menjadi mitos untuk didongengkan dalam bentuk
pembohongan dan pembodohan. Sehingga membuat kitab suci kehilangan makna
kesuciannya, tetapi menjadi dongeng yang selalu didongengkan sebagai kajian
suatu agama.
Tuhan
yang diagung agungkan, yang dibesar besarkan dan yang dikuduskan. Kenyataan di
Lapangan Cuma diperkecilkan dan diartisempitkan dengan pembohongan dan
pembodohan oleh sekelompok kecil yang bergaya “seperti” wakil Tuhan atau
mewakili Tuhan. Lantas dimana Tuhan yang sebenarnya yang sering diucapkan “Yang
Maha Esa”?.
Manusia
pilihan hanya dijadikan sumber persaingan dan perpecahan oleh para penganutnya
yang bergaya “seperti” Insan Nirwana, Manusia Sorgawi dan Homo Firdausi, tak
pernah merasakn beban berat yang ditanggung manusia pilihan, ketika menerima
QUANTUM. Baik quantum cahaya yang menyelimuti gunung Thursina, baik quantum
suara yang menyelinap dirahim kasa Muntaha atau quantum lain yabng merekati
pohon rindang atau menuruni lembah yang dalam dan menjulur keatas puncak gunung
yang tertinggi.
Para
penganut yang bergaya “seperti” Insan Nirawan, Manusia Sorgawi atau Homo
Firdausi, tidak merasa berdosa jika melangkahi kuasa Tuhan. Melanggar sepuluh
perintah, mengkhianati perjanjian dan menentang Hukum Evolusi dan Hukum Revolusi
yang pernah diperbuat oleh manusia pilihan dimasa yang lalu.
Kitab
kitab suci dalam bahasa puisi, sarat dengan ritus dan situs, telah bercerita
banyak tentang sejarahnya, sejarah manusia pilihan, untuk dipahami dan diikuti
jejaknya, tetapi oleh sebagaian besar penganutnya yang bergaya “seperti” Insan
Nirwana, Manusia Sorgawi dan Homo Firdausi, tak pernah dipahami dan tak
terbaca, sebab mereka msaih berada di area “Pembohongan dan Pembodohan”.
Hasnan Singodimayan
Pengarang “Suluk Mu’tazilah”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar