Cari Entri lain

Sabtu, 22 Maret 2014

SENIMAN BERUDENG



                Sejumlah Kawula Muda yang usianya sudah tua, diatas rata rata usia Para Wali, mereka belum menemukan Jati dirinya. Lahan yang subur untuk bisa mendapatkan  j ati –dirinya itu dalam waktu yang sangat singkat dan cepat, adalah lahan Seniman dan Kewartawanan. Sebab dengan gaya nyentrik dan ngurak, berbusana se-enaknya, serta berbicara asal bicara, mereka bakal dianggap oleh masyarakat awam sebai Seniman dan wartawan.
Mereka pernah ber[entsas sekali, pernah baca puisi dan nulis puisi. Pernah nulis berita dari cerita dan mengenal sejumlah Seniman terkenal dan beberapa Redaktur Koran. Mereka sudah berani menyatakan Seniman Nasional dan Wartawan tanpa Koran dan menyatakan sebagai wartawan FREELANCE.
Ketika mereka bertemu dengan seniman tradisional dan Masyarakat Adat, mereka menyatakan dirinya bukan Seniman Lokal dan bukan Wartawan Daerah. Malah lebih dari itu, mereka telah menyatakan dirinya sebagai BUDAYAWAN. Tanpa mereka mengerti perbedaan antara profesi dan Predikat. Tanpa mendalami definisi Budayawan.
Pengertian lokal dan Nasional, telah dipersempit datanya dan maknanya hanya pada PETA tanpa skala dan sejarah. Arti Nasional itu, dari Sabang sampai Merauke. Arto regional itu, dari Banten sampai ke Blambangan dan arti lokal, hany seputar Bali dan Banyuwangi. Tetapi mereka tidak pernah sadar, banyak Seniman lokal dari Bali, Madura dan Banyuwangi, dikenal dan terkenal secara Nasional, seperti Jawai Intan dan Oka Resmini apalagi pengertian tradisional, selalu dipersempit pada komunitas Adat yang terpencil dan yang tertinggal, senang pada angklung dan gandrung.
Ketika dilakukan TRANSFORMASI BUDAYA dengan cara menjaring komunitas Marjinal itu memasuki ETNO CULTURAL dalam bentuk CARNAVAL dan FESTIVAL. Maka para Seniman Nasional yang selalu mengaku dirinya BUDAYAWAN, sempat terkejut dan terperanjat kaget yang cukup berat. Ternyata budaya lokal dan seni tradisional, semacam BARONG DAN GANRUNG, KEBO KEBOAN dan SEBLANG. Mampu mendongkrak dirinya setaraf budaya Nasional. Pada aulanya ditolak dan ditentang keberadaannya oleh para Seniman Nasional yang belum punya Jati diri itu.
SENIMAN BERUDENG, kian menata udengnya, agak melintang ke atas, miring ke kiri bewarna merah seniman Nasional MENGKERUT, menjadi Seniman Regional. Ikut pakai udeng, tetapi tatanan udengnya terlihat tidak benar, asal terikat diatas kepala. Mereka kurang mengenal falsafah udeng yang terkait dengan kisah dan sejarah SANGHYANG SIRAH. Bukan sekedar lembaran kain Gajah Uling yang diikat diatas kepala.
Untuk mempercepat Jati-dirinya sebagai Seniman dan wartawan, mereka mendatangi sejumlah Komunitas Adat dan Budaya Tradisional yang ada di desa desa. Merela berbincang bincang dengan Komunitas itu, tentang segala perkara yang dikerjakan komunitas itu, barangkali masih ada yang tersisa, kekurangan dan kelemahannya. Tetapi mereka belum pernah sadar, jika sudah terlambat 45 tahun ditanun milenium. Sebab seniman Lokal yang bekerja dan berkarya untuk seni Tradisional dan menangani Komunitas Adat, sudah TERKENAL DAN DIKENAL sebagai SENIMAN NASIONAL DAN BUDAYAWAN.

Hasnan Singodimayan
Pengarang “Suluk Mu’tazilah”

PEMBOHONGAN dan PEMBODOHAN



                Produk ritual yang diciptakan Tuhan dan dipercayakan kepada manusia pilihan berupa kitab suci, bukan sekedar kitab mitos yang dibaca dengan nada minir atau dengan suara padu dalam lagu atau dengan suara nyaring melengking mencengkan angkasa. Tetapi merupakan kitab sejarah masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang, untuk dikaji pengembangannya sebagai suatu jalan, suatu aturan moral dan sebagai sumber ilmu pengetahuan yang mengandung kebenaran mutlak untuk diyakini. Sehingga manusia tidak terjebak dan tergiring dalam pembohongan dan  pembodohan.
                Sebermula pembohongan dan pembodohan itu, dilakukan pada dirinya sendiri. Sebab kitab-kitab yang dibacanya sekedar dibaca, berdasar pada kosa kata dan artinya secara verbal. Kandungannya secara puitissebagai bahasa ritual, kurang bisa dipahami.
                Maka proses pembohongan dan pembodohan mulai dilakukan dengan bentuk pemaksaan, berupa bangunan yang diangker angkerkan dan para pendukungnya memakai atribut yang bergaya “seperi” Insan Nirwana, Manusia Sorgawi dan omo Firdausi.
                Bahasa ritual harus dipahami dengan produk budaya dan pembudayaan, bukan secara verbal dengan bahasa manusia, seingga menjadi mitos untuk didongengkan dalam bentuk pembohongan dan pembodohan. Sehingga membuat kitab suci kehilangan makna kesuciannya, tetapi menjadi dongeng yang selalu didongengkan sebagai kajian suatu agama.
                Tuhan yang diagung agungkan, yang dibesar besarkan dan yang dikuduskan. Kenyataan di Lapangan Cuma diperkecilkan dan diartisempitkan dengan pembohongan dan pembodohan oleh sekelompok kecil yang bergaya “seperti” wakil Tuhan atau mewakili Tuhan. Lantas dimana Tuhan yang sebenarnya yang sering diucapkan “Yang Maha Esa”?.
                Manusia pilihan hanya dijadikan sumber persaingan dan perpecahan oleh para penganutnya yang bergaya “seperti” Insan Nirwana, Manusia Sorgawi dan Homo Firdausi, tak pernah merasakn beban berat yang ditanggung manusia pilihan, ketika menerima QUANTUM. Baik quantum cahaya yang menyelimuti gunung Thursina, baik quantum suara yang menyelinap dirahim kasa Muntaha atau quantum lain yabng merekati pohon rindang atau menuruni lembah yang dalam dan menjulur keatas puncak gunung yang tertinggi.
                Para penganut yang bergaya “seperti” Insan Nirawan, Manusia Sorgawi atau Homo Firdausi, tidak merasa berdosa jika melangkahi kuasa Tuhan. Melanggar sepuluh perintah, mengkhianati perjanjian dan menentang Hukum Evolusi dan Hukum Revolusi yang pernah diperbuat oleh manusia pilihan dimasa yang lalu.
                Kitab kitab suci dalam bahasa puisi, sarat dengan ritus dan situs, telah bercerita banyak tentang sejarahnya, sejarah manusia pilihan, untuk dipahami dan diikuti jejaknya, tetapi oleh sebagaian besar penganutnya yang bergaya “seperti” Insan Nirwana, Manusia Sorgawi dan Homo Firdausi, tak pernah dipahami dan tak terbaca, sebab mereka msaih berada di area “Pembohongan dan Pembodohan”.

Hasnan Singodimayan
Pengarang “Suluk Mu’tazilah”