Sejumlah
Kawula Muda yang usianya sudah tua, diatas rata rata usia Para Wali, mereka
belum menemukan Jati dirinya. Lahan yang subur untuk bisa mendapatkan j ati –dirinya itu dalam waktu yang sangat
singkat dan cepat, adalah lahan Seniman dan Kewartawanan. Sebab dengan gaya
nyentrik dan ngurak, berbusana se-enaknya, serta berbicara asal bicara, mereka
bakal dianggap oleh masyarakat awam sebai Seniman dan wartawan.
Mereka pernah
ber[entsas sekali, pernah baca puisi dan nulis puisi. Pernah nulis berita dari
cerita dan mengenal sejumlah Seniman terkenal dan beberapa Redaktur Koran. Mereka
sudah berani menyatakan Seniman Nasional dan Wartawan tanpa Koran dan
menyatakan sebagai wartawan FREELANCE.
Ketika mereka
bertemu dengan seniman tradisional dan Masyarakat Adat, mereka menyatakan
dirinya bukan Seniman Lokal dan bukan Wartawan Daerah. Malah lebih dari itu,
mereka telah menyatakan dirinya sebagai BUDAYAWAN. Tanpa mereka mengerti
perbedaan antara profesi dan Predikat. Tanpa mendalami definisi Budayawan.
Pengertian lokal
dan Nasional, telah dipersempit datanya dan maknanya hanya pada PETA tanpa
skala dan sejarah. Arti Nasional itu, dari Sabang sampai Merauke. Arto regional
itu, dari Banten sampai ke Blambangan dan arti lokal, hany seputar Bali dan
Banyuwangi. Tetapi mereka tidak pernah sadar, banyak Seniman lokal dari Bali,
Madura dan Banyuwangi, dikenal dan terkenal secara Nasional, seperti Jawai
Intan dan Oka Resmini apalagi pengertian tradisional, selalu dipersempit pada
komunitas Adat yang terpencil dan yang tertinggal, senang pada angklung dan
gandrung.
Ketika dilakukan
TRANSFORMASI BUDAYA dengan cara menjaring komunitas Marjinal itu memasuki ETNO
CULTURAL dalam bentuk CARNAVAL dan FESTIVAL. Maka para Seniman Nasional yang
selalu mengaku dirinya BUDAYAWAN, sempat terkejut dan terperanjat kaget yang
cukup berat. Ternyata budaya lokal dan seni tradisional, semacam BARONG DAN
GANRUNG, KEBO KEBOAN dan SEBLANG. Mampu mendongkrak dirinya setaraf budaya
Nasional. Pada aulanya ditolak dan ditentang keberadaannya oleh para Seniman
Nasional yang belum punya Jati diri itu.
SENIMAN BERUDENG,
kian menata udengnya, agak melintang ke atas, miring ke kiri bewarna merah
seniman Nasional MENGKERUT, menjadi Seniman Regional. Ikut pakai udeng, tetapi
tatanan udengnya terlihat tidak benar, asal terikat diatas kepala. Mereka kurang
mengenal falsafah udeng yang terkait dengan kisah dan sejarah SANGHYANG SIRAH. Bukan
sekedar lembaran kain Gajah Uling yang diikat diatas kepala.
Untuk mempercepat
Jati-dirinya sebagai Seniman dan wartawan, mereka mendatangi sejumlah Komunitas
Adat dan Budaya Tradisional yang ada di desa desa. Merela berbincang bincang
dengan Komunitas itu, tentang segala perkara yang dikerjakan komunitas itu,
barangkali masih ada yang tersisa, kekurangan dan kelemahannya. Tetapi mereka
belum pernah sadar, jika sudah terlambat 45 tahun ditanun milenium. Sebab seniman
Lokal yang bekerja dan berkarya untuk seni Tradisional dan menangani Komunitas
Adat, sudah TERKENAL DAN DIKENAL sebagai SENIMAN NASIONAL DAN BUDAYAWAN.
Hasnan Singodimayan
Pengarang “Suluk Mu’tazilah”