Tafsir
yang ditafsirkan merupakan metode impirik yang pernah dilakukan para
cendekiawan di jaman khalifah Harun Al Rasyid pada tahun 800 masehi. Ternyata
tafsir yang ditafsirkan itu, jauh lebih hidup dari pada tafsirnya sendiri, sebab
yang yang ditafsirkan punya kajian tersendiri dengan melihat ayat-ayat di
lapangan, untuk dikelola menjadi ILMU PENGETAHUAN yang didukung oleh
SUNNATULLAH DAN SUNNATURRASUL, yaitu hukum evolusi dan hukum revolusi.
Maka
perkembangan ilmu pengetahuan mencapai puncaknya dengan kadar dialektika.
Tetapi ketika yang ditafsirkan itu “dipaksa” berbalik hanya pada tafsir dengan
kajian yang konvensi, berdasarkan pada
metode “kata per-kata” dengan sejumlah
ayat dan surat yang cuma dijadikan AZIMAT, maka “tulisannya ruwet, tak bisa
dibaca” kataWS.Rendra.
Tafsir
yang ditafsirkan, tidak cuma “menterjamahkan” kata demi perkata dan kalimat
demi perkalimat, tetapi memahami juga
potensi perhurufnya demi huruf. Sebab sejarah tulisan yang bermula dari coretan
berlambang. Punya potensi intuisi atas kehendak tuhan yang disebut SUNNATULLAH.
Potensi gambar yang bermula berupa coretan huruf, berkembang pada suku kata dan
kata –kata serta rangkaian kata berupa kalimat, punya arti khusus untuk di tafsirkan
dalam bahasa itu sendiri. Bukan menterjemahkan bahasa “manusia” yang masih
verbal, gampang diputar balikan menurut nafsunya.
Tafsir
yang ditafsirkan dari suatu bahasa yang tidak verbal, potensi kalimat,
kata-kata, suku kata dan huruf, punya perioritas tersendiri untuk diterjemahkan
satu per satu. Sebab karakter bahasa klasik, baik ibrani maupun arami atau
arab. Ada buyi tampa huruf, ada huruf tampa bunyi, ada huruf yang tersembunyi,
ada tanda tekan yang berfungsi seperti huruf dan ada huruf yang berfungsi hanya
sebagai tanda, terutama pada huruf sandang dan tanda tandanya, sebab pada
setiap huruf, punya arti dan banyak arti.
Huruf-huruf
sandi yang mengawali beberapa surat, tidak perlu ditafsirkan dengan bentuk
“pemaksaan” yang dijabarkan menurut nafsunya dan nafsu para “KUYAHA”, sebab huruf
sandi itu telah menjadi milik Tuhan, miliknya secara mutlak, mengandung RITUS
dan SITUS, bahwa setiap surat yang diawali dengan huruf sandi itu, punya maksud
yang dalam. Bahwa didalam surat itu pada Sejarah Manusia dan Kemanusiaan “bangsa”
Israil. Sejarah manusia dan Kemanusiaan “negara” Babilonia. Sejarah manusia dan
kemanusiaan sejumlah “pemikir” Yunani. Sejarah manusia dan kemanusiaan “generasi”
Firaun di lembah sungai Nil, selama ribuan tahun. Sejarah manusia dan
kemanusiaan “orang-orang” yang berilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan itu
sendiri sebagai sejarah yang mampu menguasai “manusia dan kemanusiaan”
mengantar dihadirat Tuhan. Solusinya, tafsir itu harus ditafsirkan kebali
dengan ilmu pengetahuan yang mendasar dan berulang.
Contoh
yang sangat sederhana dan mendasar untuk dapat ditekuni dengan intuisi, adalah
kata sandanga FA dan FI, pada ayat KUN FA YAKUN, seing ditafsirkan dalam arti
kata sempit “Jadilah, mak akan jadi”, tanpa san daran Sunnatullah, hukum
evolusi, yaitu “Jadilah, maka kemudian melalui suatu pross yang cukup panjang
dan berulang, bakal terjadi dan jadi”. Sebab kata sandang FA, punya makna yang
sangat luas, tidak terikat oleh WAKTU, RUANG DAN KEADAAN manusia, tetapi oleh
kuasa Tuhan yang menguasai alam, tanpa waktu, ruang dan keadaan.
Demikian
juga kata sandang FI untuk sosok Rosulullah “Kana Fi Rasulullah Uswatun hasanah”,
selalu diterjemahkan dengan pandangan yang sangat picik.”Sesungguhnya dari
Rasulullah itu cintih yang baik” tanpa sandaran pada Sunnaturrasul, hukum
Revolusi yang berlaku “Sesungguhnya pada kehidupan dan sejarah Rasulullah,
merupakan proyeksi yang sangat baik dan berkembang untuk dijadika pandangan
hidup masyarakt sejagad”. Bukan pada pribadi seorang Muhammad sebagau Rasul,
hanya untuk pribadi seorang muslim, sebab sepertinya “Tidak mungkin untuk bisa
ditiru dan menirtu”. Selain sifat Ma’sum, Waktu, ruang dan keadaan, sudah jauh
berbeda dengan Rasulullah.
Tafsir
yang ditafsirkan, merupakan metoda spiritual untuk menjelaskan sejumlah
ayat-ayat tektual, menjadi ayat ayat intelektual, ahmatan lil alamin bersifat “Universal”
untuk semua kehidupan dialam semesta, tidak hanya terbatas di alam dunia,tetapi
juga di alam maya dengan perkebangan teknologi informasi, suatau bentuk “Revolusi
besar” berdasar pada Sunnaturrasul. Rahmatal lil alamin untuk semua manusia.
Tafsir
yang masih bergaya premodial harus ditafsirkan kembali dengan wawawsan
Universal, sehingga bisa dipahami secara utuh oleh siapapun yang berilmu
pengetahuan. Sehingga tidak ada sekat yang membatasi antara “Kamu dan Kami”,
sebab yang menggenggam Hand Phone, bukan Cuma kami, tetapi juga kamu yang sama
sama menyandang ilmu pengetahuan.tetapi antara kamu dan kami, masih belum
menyadari jika di era sekarang ini sudah berada di dalam proses “Revolusi besar”
menjungkit balikkan, keadaan yang masih menolak GLOBALISASI
Ilmu
pengetahuan, baik eksakta maupun sosial, merupakan sarana dan prasarana yang
paling tepat untuk menciptakan Rahmatal lil alamin atas dasar “amar ma’ruf nahi
Munkar”, agar potensi ilmu pengetahuan tidak digunakan untuk menggali neraka
dan kesengsaraan, tetapi untuk meluaskan Sorga nirwana seluas ilmu pengetahuan
itu sendiri yang tak terbatas. “Tolak sorga Cuma-Cuma, cari sorga sendiri yang
bermukim di dalam hati” tulis Dr. Sir Muhammad Iqbal dalam kitab puisinya
Asrari Khudi. Sebab Tuhan akan menyapa hamba-hambanya di akhirat nanti,
berdasar kadar ilmu pengetahuannya.
Sebab
ilmu pengetahuan, merupakan salah satu amal yang akan diperhitungkan Tuhan di
akhirat nanti, tentang ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya dan
dimanfaatkan oleh sesama manusia kegunaannya dan kemanfaatannya. Bukan seperti
perhitungan para “Kuyaha”tentang “SEORANG ASTRONUT MUSLIM YANG MU’MIM”
Konon
menurut cerita Sahibul Hikayat ada sebuah kisah yang tak boleh didongengkan
sesama muslim, tentang seorang Astronut yang msulim dan mu’min. astronut itu
berasal dari kota Ar-Riyadah. Selama delapan hari sembilan malam menurut waktu
dunia nyata diatas bumi. Astrunut yang muslim dan mu’min itu, diluncurkan dari
An-nifadah, mengitari bumi dengan menggunakan pesawat angkasa Dis algafuri.
Ketika
kembali ke bumi, astrunut itu membayangkan astrunut Sovyet yang Atheis yang
pernah menyatakan didepan publik “bahwa di angkasa luar sana, tidak ada Tuhan,
tak tampak Tuhan. Yang ada hanya kekosongan dan kehampaan”, Subanallah. Sedang astrunut
non muslim, tetapi sama sama mu’min, terkesan adanya gelombang suara yang
sangat merdu seperti orkesta shimponi, tetapi kurang dimengerti bahasanya. Maka
dengan khayalnya yang sempit, suara itu di duga suara makhluk Alien.
Berlain
dengan kesan yang dinyatakan astrunut mulsim yang mu’min itu. “angkasa luar
dipadati dan dipenuhi oleh seruan TAKBIR, termasuk suaranya sendiri, ketika
memandang angkasa “Allahu Akbar, Allahu Akbar” ketika terhujam matanya ke bumi,
astrunut itu melihat seberkas “Aitshone” do kota Makkah dan Madinah. Alamiyah
dan Ilmiyah.
Tetapi
ketika kembali ke bumi, astrunut yang muslim dan Mu’min itu, dihadapkan pada “kuyuha”
untuk menjawab, “Apakah ada mengerjakan shalat lima waktu selama diangkasa itu?”.
Astrunut muslim yang mu’min itu, menjawabnya dengan kadar pengalamanya ketika
di luar angkasa, dengan jawaban “Amaru daruri bis suguli”, sebab pertanyaannya
hanya mengandung nilai syar’lie.
“Di
angkasa tidak dada batas waktu seperti di bumi. Ada isya’ dan ada Subuh. Tidak bisa
melakukan ruku’ dan Sujud, sebab bisa terjungkir balik oleh kehampaan”. Kuyuha
dan para Sanatirnya, kemudian menyimpulkan, jikalau astrunut muslim yang mu’min
itu tergolong FASIK, mendekati kekufuran “an Yakuna Kufran” katanya. Astrunut muslim
yang mu’min itu kemudian memberikan tanggapan dan perbandingan tentang
kesimpulan Kuyuha dan Sanatirnya itu.
“bahwa
astrunut yang maha sempurna tas kehendak Tuhan dari bumi sini, adalah Rasulullah.
Berangkat sesudah shalat Isya’ dan kembali sebelum shalat subuh kurang dari
tujuh jam. Dengan tujuan pada batas tertinggi yang tak terbatas diatas Arsy”. Maka
para Kuyaha dan para Sanatirnya itu, kemudian memutuskan, “Jika asturnut yang
Mu’min itu sudah tergolong Kufur”. Sebab menyamakan Muhammad Rasulullah dengan
Astrunut, ketika melakukan Isra’ mi’raj.
Semoga
kisah dari Sahibul Hkayat itu, bukan cerita yang sebenarnya, tetapi Cuma Tafsir
yang ditafsrikan oleh suatu peristwia yang sebenarnya.
HASNAN SINGODIMAYAN
Pengarang "Suluk Mu'tazilah"