Cari Entri lain

Jumat, 21 Februari 2014

Tafsir Yang Ditafsirkan



Tafsir yang ditafsirkan merupakan metode impirik yang pernah dilakukan para cendekiawan di jaman khalifah Harun Al Rasyid pada tahun 800 masehi. Ternyata tafsir yang ditafsirkan itu, jauh lebih hidup dari pada tafsirnya sendiri, sebab yang yang ditafsirkan punya kajian tersendiri dengan melihat ayat-ayat di lapangan, untuk dikelola menjadi ILMU PENGETAHUAN yang didukung oleh SUNNATULLAH DAN SUNNATURRASUL, yaitu hukum evolusi dan hukum revolusi.
Maka perkembangan ilmu pengetahuan mencapai puncaknya dengan kadar dialektika. Tetapi ketika yang ditafsirkan itu “dipaksa” berbalik hanya pada tafsir dengan kajian  yang konvensi, berdasarkan pada metode   “kata per-kata” dengan sejumlah ayat dan surat yang cuma dijadikan AZIMAT, maka “tulisannya ruwet, tak bisa dibaca” kataWS.Rendra.
Tafsir yang ditafsirkan, tidak cuma “menterjamahkan” kata demi perkata dan kalimat demi  perkalimat, tetapi memahami juga potensi perhurufnya demi huruf. Sebab sejarah tulisan yang bermula dari coretan berlambang. Punya potensi intuisi atas kehendak tuhan yang disebut SUNNATULLAH. Potensi gambar yang bermula berupa coretan huruf, berkembang pada suku kata dan kata –kata serta rangkaian kata berupa kalimat, punya arti khusus untuk di tafsirkan dalam bahasa itu sendiri. Bukan menterjemahkan bahasa “manusia” yang masih verbal, gampang diputar balikan menurut nafsunya.
Tafsir yang ditafsirkan dari suatu bahasa yang tidak verbal, potensi kalimat, kata-kata, suku kata dan huruf, punya perioritas tersendiri untuk diterjemahkan satu per satu. Sebab karakter bahasa klasik, baik ibrani maupun arami atau arab. Ada buyi tampa huruf, ada huruf tampa bunyi, ada huruf yang tersembunyi, ada tanda tekan yang berfungsi seperti huruf dan ada huruf yang berfungsi hanya sebagai tanda, terutama pada huruf sandang dan tanda tandanya, sebab pada setiap huruf, punya arti dan banyak arti.
Huruf-huruf sandi yang mengawali beberapa surat, tidak perlu ditafsirkan dengan bentuk “pemaksaan” yang dijabarkan menurut nafsunya dan nafsu para “KUYAHA”, sebab huruf sandi itu telah menjadi milik Tuhan, miliknya secara mutlak, mengandung RITUS dan SITUS, bahwa setiap surat yang diawali dengan huruf sandi itu, punya maksud yang dalam. Bahwa didalam surat itu pada Sejarah Manusia dan Kemanusiaan “bangsa” Israil. Sejarah manusia dan Kemanusiaan “negara” Babilonia. Sejarah manusia dan kemanusiaan sejumlah “pemikir” Yunani. Sejarah manusia dan kemanusiaan “generasi” Firaun di lembah sungai Nil, selama ribuan tahun. Sejarah manusia dan kemanusiaan “orang-orang” yang berilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai sejarah yang mampu menguasai “manusia dan kemanusiaan” mengantar dihadirat Tuhan. Solusinya, tafsir itu harus ditafsirkan kebali dengan ilmu pengetahuan yang mendasar dan berulang.
Contoh yang sangat sederhana dan mendasar untuk dapat ditekuni dengan intuisi, adalah kata sandanga FA dan FI, pada ayat KUN FA YAKUN, seing ditafsirkan dalam arti kata sempit “Jadilah, mak akan jadi”, tanpa san daran Sunnatullah, hukum evolusi, yaitu “Jadilah, maka kemudian melalui suatu pross yang cukup panjang dan berulang, bakal terjadi dan jadi”. Sebab kata sandang FA, punya makna yang sangat luas, tidak terikat oleh WAKTU, RUANG DAN KEADAAN manusia, tetapi oleh kuasa Tuhan yang menguasai alam, tanpa waktu, ruang dan keadaan.
Demikian juga kata sandang FI untuk sosok Rosulullah “Kana Fi Rasulullah Uswatun hasanah”, selalu diterjemahkan dengan pandangan yang sangat picik.”Sesungguhnya dari Rasulullah itu cintih yang baik” tanpa sandaran pada Sunnaturrasul, hukum Revolusi yang berlaku “Sesungguhnya pada kehidupan dan sejarah Rasulullah, merupakan proyeksi yang sangat baik dan berkembang untuk dijadika pandangan hidup masyarakt sejagad”. Bukan pada pribadi seorang Muhammad sebagau Rasul, hanya untuk pribadi seorang muslim, sebab sepertinya “Tidak mungkin untuk bisa ditiru dan menirtu”. Selain sifat Ma’sum, Waktu, ruang dan keadaan, sudah jauh berbeda dengan Rasulullah.
Tafsir yang ditafsirkan, merupakan metoda spiritual untuk menjelaskan sejumlah ayat-ayat tektual, menjadi ayat ayat intelektual, ahmatan lil alamin bersifat “Universal” untuk semua kehidupan dialam semesta, tidak hanya terbatas di alam dunia,tetapi juga di alam maya dengan perkebangan teknologi informasi, suatau bentuk “Revolusi besar” berdasar pada Sunnaturrasul. Rahmatal lil alamin untuk semua manusia.
Tafsir yang masih bergaya premodial harus ditafsirkan kembali dengan wawawsan Universal, sehingga bisa dipahami secara utuh oleh siapapun yang berilmu pengetahuan. Sehingga tidak ada sekat yang membatasi antara “Kamu dan Kami”, sebab yang menggenggam Hand Phone, bukan Cuma kami, tetapi juga kamu yang sama sama menyandang ilmu pengetahuan.tetapi antara kamu dan kami, masih belum menyadari jika di era sekarang ini sudah berada di dalam proses “Revolusi besar” menjungkit balikkan, keadaan yang masih menolak GLOBALISASI
Ilmu pengetahuan, baik eksakta maupun sosial, merupakan sarana dan prasarana yang paling tepat untuk menciptakan Rahmatal lil alamin atas dasar “amar ma’ruf nahi Munkar”, agar potensi ilmu pengetahuan tidak digunakan untuk menggali neraka dan kesengsaraan, tetapi untuk meluaskan Sorga nirwana seluas ilmu pengetahuan itu sendiri yang tak terbatas. “Tolak sorga Cuma-Cuma, cari sorga sendiri yang bermukim di dalam hati” tulis Dr. Sir Muhammad Iqbal dalam kitab puisinya Asrari Khudi. Sebab Tuhan akan menyapa hamba-hambanya di akhirat nanti, berdasar kadar ilmu pengetahuannya.
Sebab ilmu pengetahuan, merupakan salah satu amal yang akan diperhitungkan Tuhan di akhirat nanti, tentang ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya dan dimanfaatkan oleh sesama manusia kegunaannya dan kemanfaatannya. Bukan seperti perhitungan para “Kuyaha”tentang “SEORANG ASTRONUT MUSLIM YANG MU’MIM”     
Konon menurut cerita Sahibul Hikayat ada sebuah kisah yang tak boleh didongengkan sesama muslim, tentang seorang Astronut yang msulim dan mu’min. astronut itu berasal dari kota Ar-Riyadah. Selama delapan hari sembilan malam menurut waktu dunia nyata diatas bumi. Astrunut yang muslim dan mu’min itu, diluncurkan dari An-nifadah, mengitari bumi dengan menggunakan pesawat angkasa Dis algafuri.
Ketika kembali ke bumi, astrunut itu membayangkan astrunut Sovyet yang Atheis yang pernah menyatakan didepan publik “bahwa di angkasa luar sana, tidak ada Tuhan, tak tampak Tuhan. Yang ada hanya kekosongan dan kehampaan”, Subanallah. Sedang astrunut non muslim, tetapi sama sama mu’min, terkesan adanya gelombang suara yang sangat merdu seperti orkesta shimponi, tetapi kurang dimengerti bahasanya. Maka dengan khayalnya yang sempit, suara itu di duga suara makhluk Alien.
Berlain dengan kesan yang dinyatakan astrunut mulsim yang mu’min itu. “angkasa luar dipadati dan dipenuhi oleh seruan TAKBIR, termasuk suaranya sendiri, ketika memandang angkasa “Allahu Akbar, Allahu Akbar” ketika terhujam matanya ke bumi, astrunut itu melihat seberkas “Aitshone” do kota Makkah dan Madinah. Alamiyah dan Ilmiyah.
Tetapi ketika kembali ke bumi, astrunut yang muslim dan Mu’min itu, dihadapkan pada “kuyuha” untuk menjawab, “Apakah ada mengerjakan shalat lima waktu selama diangkasa itu?”. Astrunut muslim yang mu’min itu, menjawabnya dengan kadar pengalamanya ketika di luar angkasa, dengan jawaban “Amaru daruri bis suguli”, sebab pertanyaannya hanya mengandung nilai syar’lie.
“Di angkasa tidak dada batas waktu seperti di bumi. Ada isya’ dan ada Subuh. Tidak bisa melakukan ruku’ dan Sujud, sebab bisa terjungkir balik oleh kehampaan”. Kuyuha dan para Sanatirnya, kemudian menyimpulkan, jikalau astrunut muslim yang mu’min itu tergolong FASIK, mendekati kekufuran “an Yakuna Kufran” katanya. Astrunut muslim yang mu’min itu kemudian memberikan tanggapan dan perbandingan tentang kesimpulan Kuyuha dan Sanatirnya itu.
“bahwa astrunut yang maha sempurna tas kehendak Tuhan dari bumi sini, adalah Rasulullah. Berangkat sesudah shalat Isya’ dan kembali sebelum shalat subuh kurang dari tujuh jam. Dengan tujuan pada batas tertinggi yang tak terbatas diatas Arsy”. Maka para Kuyaha dan para Sanatirnya itu, kemudian memutuskan, “Jika asturnut yang Mu’min itu sudah tergolong Kufur”. Sebab menyamakan Muhammad Rasulullah dengan Astrunut, ketika melakukan Isra’ mi’raj.
Semoga kisah dari Sahibul Hkayat itu, bukan cerita yang sebenarnya, tetapi Cuma Tafsir yang ditafsrikan oleh suatu peristwia yang sebenarnya.

HASNAN SINGODIMAYAN
Pengarang "Suluk Mu'tazilah"